Senin, 25 Mei 2009

Honey Bread

1. Sweet Cake

Disebuah desa kecil bernama Brawnsville, tanggal 7 April 2023, kisah ini bermulai. Desa yang masih asri, tak terpengaruh dengan polusi udara. Petang, disebuah toko roti, terlihat seorang pemuda yang sedang membereskan kardus-kardus roti yang berserakan disamping toko. Dia membereskan kardus-kardus satu per satu. Belum selesai dengan pekerjaannya, suara manita tua terdengar dari dalam rumah yang bersatu dengan toko roti itu.
“Rey...masuk dulu kedalam ! pekerjaan itu nanti biar bibi yang menyelesaikannya. Masuklah”
“baik bi...! tunggu sebentar”, sahut Rey sambil merapikan kardus yang sudah setengah lebih telah rapi di tumpukannya. Rey beranjak dari tempatnya masuk kedalam rumah. Tepat saat dia membuka pintu,
“surprise...”, kejutan dari Paman dan Bibi Rey.
“hah ? paman dan bibi merayakan apa ?”, tanya Rey dengan nada heran
“happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday happy birthday, happy birthday to you”, nyanyi paman dan bibi berbarengan sambil menunjukkan kue ulang tahun yang ada di atas meja.
“kami berdua merayakan hari ulang tahunmu hari ini. Sekalipun kami bukan orang tuamu, tapi kami sudah menganggap kamu seperti anak kami sendiri”, kata bibi sambil tersenyum.
“kalian...terima kasih banyak”, sahut Rey dengan mata berkaca-kaca
“sudahlah...ayo tiup lilinnya”, sahut paman
Rey beranjak dari heningnya. Dia mendekat ke kue ulang tahunnya dan meniup lilinnya. Dia tak menyangka bahwa paman dan bibi ingat akan hari ulang tahunnya.
“nah...sekarang ucapkan permintaanmu”, pinta bibi.
“hem...baiklah...aku pinta...semoga paman dan bibi sehat selalu dan diberikan umur yang panjang”, pinta Rey.
“oh...kamu memang anak yang baik...”, puji bibi. “nah sekarang giliran paman”, lanjut bibi.
“oh...giliranku ya ? baiklah...ini adalah permohonanku. Semoga Rey menjadi orang yang berhasil kelak, hehehe...”
“nah...itu namanya seorang paman. Nah sekarang giliran bibi. Bibi berharap semoga kau mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan selalu”, pinta bibi.
“amin...”, sahut Rey kali ini.
“nah...Rey, kami sudah menyiapkan hadiah untukmu”, kata paman sambil mengambil sebuah gitar akustik yang tersandar di dinding ruang keluarga. Paman menyerahkan gitar itu kepada Rey.
“Rey,,,paman tahu kau sangat suka bermain gitar dan paman juga tahu gitar lamamu sudah usang dan mulai rusak makanya paman dan bibi membelikan gitar ini untukmu. Ambillah”, kata paman kepada Rey.
Rey mengambil gitar akustik itu dengan hati yang gembira. Gitar merupakan benda yang sangat disayanginya. Gitarlah yang menemani Rey saat suntuk juga saat dia sedang resah dan gelisah.
“paman, bibi, terima kasih banyak. Aku tak tahu harus mengucapkan apa lagi selain kata terimakasih”
“sudahlah...ayo potong kuenya. Kita rayakan sama-sama”, sahut bibi. Bibi mengambil pisau yang ada di samping kue ulang tahun dan memotongnya menjadi beberapa bagian lalu diserahkannya kepada Rey dan paman. Malam itu merupakan malam yang paling menyenangkan bagi Rey. Paman beranjak dari duduknya dan memencet tombol TV.
“ah...mari kita lihat TV. Tidak enak makan kue tanpa nonton TV”
“dasar kebiasaan buruk”, sahut bibi dengan nada sinis.
Channel yang dipilih paman kali ini adalah tentang liputan berita eksklusif pernyataan dari keluarga Margharetta yang kehilangan putrinya karena kasus penculikan. Mereka semua menengarkan berita dengan seksama.
“sampai saat ini, kami dari pihak kepolisian belum berhasil menemukan Erika, pelaku penculikan telah berhasil kami tangkap, namun malang, Erika tidak bersama mereka karena Erika telah kabur terlebih dahulu dari para penculik tersebut. Sampai saat ini kami belum berhasil mendapatkan tanda-tanda keberadaannya”
“kasihan ya mereka ! sudah 3 hari keluarga itu kehilangan anaknya karena diculik. Eh sekarang setelah pelakunya tertangkap, Erikanya yang malah telah kabur terlebih dahulu”, sahut bibi dengan rada sedih.
Kali ini pandangan di TV berganti mengarah keorang lain. Kali ini yang berbicara adalah perwakilan dari pihak keluarga.
“kami sangat mengharapkan anak kami kembali lagi ke pangkuan kami kembali. Dengan ini, saya selaku ayah Erika menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk membantu kami menemukan Erika. Kami akan memberikan hadiah yang besar bagi siapa saja yang berhasil menemukan Erika dan mengembalikannya kepada kami. Uang bukan sesuatu yang amat berharga bagi kami jika dibandingkan dengan Erika, anak kami. Karena itulah, bagi para pemirsa sekalian, kami dari pihak keluarga sangat mengharapkan partisipasinya”
Rey, paman, dan bibi hanya bisa meratapi berita ini. Tak disangka-sangka hujan turun dengan lebatnya. Rey teringat dengan pekerjaan rumah yang diberikan gurunya di sekolah.
“paman, bibi, aku harus pulang dulu soalnya ada pr yang belum aku kerjakan”
“kan lagi hujan lebat. Menginap saja disini, kerjakan saja tugasmu disini”, sahut paman.
“tidak bisa paman soalnya bukunya semuanya ada di rumah. Seandainya tahu begini mending dari rumah bawa bukunya aja sekalian tapi yah...sudah terlanjur...”, kata Rey dengan nada sedikit kecewa.
“ya sudah...pakai payung bibi. Nih bawa pulang kuenya. Kan bisa dimakan selagi kamu mengerjakan tugasmu. Oh iya jangan lupa hadiahmu itu”, sahut bibi sambil menyerahkan bungkusan berisi kue ulang tahun yang tadi.
“gitar itu biar nanti aja deh saya bawa pulang. Hari kan lagi hujan. Aku ga’ mau hadiah kalian basah”
Rey mengambil bungkusan kue itu, memasang jaket usangnya yang sejak sore tadi digantungnya di balik pintu dan berjalan keluar rumah. Diambilnya payung yang tergantung di tiang disamping pintu rumah. Dibukanya payungnya dan beranjak keluar. Paman dan bibi mengikutinya dari belakang.
“hati-hati ya Rey...! hujannya lebat dan juga gelap, apa perlu senter ?”, tanya paman.
“ah...tidak usah paman, udah biasa yang kaya begini jadi tidak apa-apa, aku pulang dulu ya ?”, sahut Rey.
“iya...hati-hati...”,balas bibi.
Rey berjalan menerobos hujan lebat dan dilihatnya sekeliling hampir tak terlihat apa-apa. Rey mempercepat langkahnya karena ingin cepat-cepat pulang supaya tidak terlalu larut menyelesaikan tugasnya.
Samar-samar terdengar suara isak tangis seorang wanita. Rey tak memperdulikannya.
“ah...mungkin cuma hayalanku saja”,pikirnya.
Namun semakin dia berjalan semakin terdengar jelas suara isak tangis gadis itu. Rey mulai gemetar sekarang. Dia mulai berpikir yang aneh-aneh.
“apa itu tangisan hantu ? kata paman kan hantu itu ga’ ada. Tapi ini ada suara tangisan gadis malam-malam ditengah tempat gelap dan disaat hujan lebat”, pikir Reyu yang sekarang bulu kuduknya mulai merinding. Jalanan desa itu memang sedikit sekali lampu jalanan. Kira-kira jarak antara lampu yang satu dengan yang lainnya berjarak 75 meter, kalaupun kurang dari itu juga lampu dari rumah warga yang lain yang menyala. Dia memberanikan diri untuk berjalan. Semua pikirannya tentang hantu dibuangnya jauh-jauh. Rey berjalan semakin mendekat dengan suara itu sampai dia melintasi sebuah pohon yang tidak terlalu besar. Samar-samar dilihatnya seorang gadis duduk menelungkup dibawah pohon itu sambil menangis dan basah kuyup. Dilihatnya gadis itu gemetar badannya. Kelihatannya dia kedinginan. Rey menghampirinya dan mengarahkan payungnya keatas kepala gadis itu untuk menaunginya. Rey mulai yakin bahwa gadis ini bukan hantu, dia memberanikan diri untuk bertanya kepada gadis itu.
“hey...kenapa kau duduk disini ? disini kan basah ? kau tak bisa berteduh disini. Kenapa kau tidak pulang kerumahmu ?”
Gadis tadi mengangkat kepalanya dan menatap kearah Rey tanpa berkata apa-apa dengan mata sayu dan wajahnya terlihat pucat sekali. Bibirnya putih dan menggigil tanda kedinginan. Melihat wajah seperti ini Rey malah berpikir gadis ini adalah hantu. Dia sudah bersiap-siap mengambil langkah seribu tapi mendadak gadis tadi pingsan dan jatuh tepat kearah Rey. Rey langsug melepaskan payungnya dan menyandarkan gadis tadi di pohon. Rey menepuk pipi gadis itu perlahan.
“hey...sadarlah...”, kata Rey berulang-ulang namun tak ada respon dari gadis itu. Karena kasihan melihat gadis itu, Rey melepaskan jaketnya dan menggendong gadis tadi. Dengan tangan kanan ditahannya gadis tadi di punggungnya. Diambilnya bungkusan kuenya yang sempat terjatuh bersama payungnya tadi, digigitnya bungkusan itu dan dengan tangan kiri diambilnya payungnya dan kemudian dia berjalan kembali. Rey berjala dengan tergopoh-gopoh. Selain menggendong gadis tadi dia juga memegangi payung dengan tangan kirinya untuk menaungi gadis itu dan menggunakan mulutnya untuk membawa bungkusan kue.
“kasihan juga gadis ini. Malam-malam begini kehujanan ya tentu aja kedinginan”, pikirnya. “dan juga, gadis ini lumayan berat juga”, pikir Rey lagi. Sekalipun cuaca dingin, Rey tetap berkeringat karena menggendong gadis itu dengan satu tangan. Sebentar-sebentar dinaikkannya lagi gadis itu karena merosot kebawah. Beginilah terus sampai akhirnya dia sampai dirumahnya. Ditaruhnya payung dan diambilnya kunci dari kantong celana. Pintu terbuka dan gadis itu dibawanya masuk. Direbahkannya gadis tadi dilantai. Rumah Rey kecil. Hanya terdiri dari 4 ruangan. Satu kamar mandi, satu dapur dan 2 ruangan yang sama besar. Satu ruangan adalah kamarnya. Rey kembali ke pintu untuk menutupnya dan meletakkan bungkusan kue di atas meja, mengganti pakaiannya yang basah lalu kembali ke gadis tadi. Melihat gadis tadi Rey jadi tidak berani membuka pakaiannya, tapi melihat baju gadis tadi yang basah kuyup, terpaksa Rey memberanikan diri untuk membuka baju gadis itu sebab jika didiamkan bakal menjadi tambah parah. Diambilnya kacamata hitam usang dari lemarinya dan dipakainya agar tidak memandang dengan jelas tubuh si gadis. Rey melepaskan semua pakaian si gadis minus pakaian dalam soalnya Rey tidak berani melakukannya. Diambilnya handuk, kemeja, dan celana pendek dari lemarinya untuk menutupi tubuh si gadis lalu diangkatnya gadis itu kedalam kamarnya. Diambilnya selimutnya dan diselimutkannya kepada gadis tadi. Rey memegangi dahi gadis itu. Gadis itu demam tinggi. Melihat ini Rey kembali ke dapur, mengambil air dan handuk kering. Rey kembali lagi kedalam kamar, mencelupkan handuk kedalam cawan yang berisi air, memerasnya dan diletakkannya diatas dahi sang gadis untuk kompres. Rey melakukan ini beberapa kali sampai demam sang gadis mulai turun.
“akhirnya demamnya turun juga. Syukurlah”, kata Rey dengan lega. Rey beranjak keluar dari kamar dan menutup kamarnya rapat-rapat. Dilihatnya jam dindingnya, jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas.
“gawat...tugasku belum aku kerjakan”
Rey mengambil bukunya dan mulai mengerjakan pekerjakan rumahnya. Badannya terasa pegal semuanya tapi dia tetap bersikeras mengerjakan tugasnya.

***
Suara burung berkicau terdengar. Mentari cerah bersinar, embun pagi berjatuhan dari dedaunan. Sang gadis terbangun dari lelapnya. Dilihatnya atas rumah.
“Dimana aku ?”
Dia masih merasa sedikit pusing. Tangannya memegang dahi dan menemukan handuk kecil didahinya. Diangkatnya handuk itu dan dipeganginya. Dilihatnya disamping kasur tempat tidurnya ada mangkuk berisi air. Diletakkannya kain tadi disamping mangkuk dan bangkit untuk duduk. Dibukanya selimut yang menutupi badannya. Dia kaget ketika melihat pakaiannya berubah menjadi kemeja lusuh dengan celana pendek yang kira-kira sama lusuhnya.
“kenapa aku memakai pakaian seperti ini ? rasanya pakaianku bukan ini deh !”, katanya heran. Dia mulai berdiri meskipun kepalanya masih terasa sakit sedikit dan melupakan tentang pakaiannya. Sambing memegangi dahinya, dia menuju pintu kamar dan membukanya untuk keluar. Begitu membuka pintu, selembar kertas jatuh melayang tepat di hadapannya dan jatuh dilantai. Diambilnya kertas itu dan dibacanya. Dikertas itu tertulis :
“makanan ada di atas meja. Maaf kalau makanannya seadanya saja. Makanlah secepatnya mumpung masih panas. Aku pergi sekolah dulu. Maaf bila kau tidak bisa keluar dari rumah soalnya pintunya aku kunci supaya kau tidak bisa kemana-mana karena tidak enak sama tetangga bila seorang gadis keluar dari rumah seorang laki-laki. Kondisimu masih sakit. Istirahatlah, aku akan segera pulang, oh iya satu lagi maaf soal pakaianmu. Aku terpaksa menggantinya soalnya bajumu basah, jika ku diamkan kau akan masuk angin jadi terpaksa aku ganti dengan pakaianku. Tapi tenang saja aku tidak mengganti pakaian dalammu, dan juga aku tidak melakukan apa-apa terhadapmu selain mengganti bajumu. Maaf ya >_<”
“hah...? laki-laki ?”, sang gadis terkejut. Dilihatnya lewat kerah bajunya apakah dia memang masih memakai pakaian dalam. Dia lega juga setelah melihat pakaian dalamnya masih berada pada tempatnya dan masih agak basah karena hujan malam tadi. Dia melirik kearah meja yang disebutkan surat tadi. Dilihatnya ada mangkuk yang tertutup, gelas serta termos. Dia mendekat dan membuka mangkuk tertutup itu. Dilihatnya sup yang masih panas. Di bukanya termos dan menuangkannya kedalam gelas. Teh hangat keluar dari dalam termos. Dicicipinya sup tadi.
“wah...enak juga supnya”, gumamnya
Karena supnya enak, tanpa sadar sup satu mangkuk penuh habis dimakannya. Setelah merasa kenyang, dia beranjak dari duduknya dan melihat-lihat sekeliling rumah mungil itu. Ada sebuah gitar tua bersandar di pojok ruangan itu. Dilihatnya ada sebuah foto yan terletak diatas lemari. Gambar seorang gadis dan seorang anak laki-laki. Lalu dilihatnya lagi sekeliling. Rumah itu memang sangat sederhana namun tertata rapi. Dia beranjak menuju dapur. Peralatan memasaknya semuanya tua. Tak ada yang bagus sama sekali. Tak sengaja dia melihat keluar jendela yang ada di dapur dan melihat pakaiannya dijemur diluar. Dia tersenyum melihatnya.

***
Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Setelah mengucapkan salam, semua siswa keluar dari kelasnya masing-masing. Rey terlihat tergesa-gesa memasukkan semua bukunya untuk segera pulang. Seorang gadis dengan rambut hitam lurus, menggunakan ikat rambut dan menjuntai dibelakang. menghampirinya.
“Rey, ayo pulang sama-sama”
Rey memalingkan wajahnya kearah gadis tadi.
“oh kamu Seon, maaf hari ini aku tidak bisa pulang sama-sama soalnya aku harus buru-buru pulang”
“oh...begitu. ya sudah hati-hati ya !”, balas Seon dengan raut wajah yang sedikit berubah.
“iya”, jawab Rey sambil beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Seon. Rey dan Seon sering pulang bersama saat pulang sekolah. Tentu saja dengan sikap Rey hari ini membuat Seon agak khawatir.
“tumben...ada apa ya ?”, pikirnya dalam hati.
Rey berjalan agak cepat dari biasanya. Dia singgah ke toko roti paman dan bibinya. Paman sedang duduk didepan kasir melayani pelanggan sedangkan bibi merapikan roti di rak roti. Melihat Rey, bibi menyapa Rey.
“eh kau Rey, tumben sendirian. Biasanya kau sama Seon. Mana dia ?”
“hari ini aku pulang duluan. Oh ya bi aku pengen mengambil hadiahku”
“ada di samping pintu”, sahut bibi sambil menunjuk kearah pintu rumah. Rey berjalan kearah pintu mengambil gitarnya.
Paman yang telah selesai melayani pelanggan bertanya kepada Rey
“pulang duluan ? kenapa ?”
“ada seorang gadis dirumahku. Aku menolongnya kemarin malam. Dia basah kuyup duduk menelungkup dibawah pohon di jalan menuju rumahku. Saat aku hampiri dia pingsan jadi ya apa boleh buat terpaksa deh aku tolong dia”
“hah ? gadis ? hey kau tidak melakukan yang macam-macam kan ?”
“hus...tentu aja Rey tidak melakukan apa-apa”, tegur bibi.
“ya tidak lah..., aku cuma menolongnya. Itu saja. Masa dia aku diamkan malam-malam kedinginan dibawah pohon kehujanan”
“kau memang anak yang baik Rey”, kata bibi bangga.
“paman dan bibi datanglah kerumahku dan lihat dia, barangkali paman dan bibi mengenalnya”
“ah...mungkin besok pagi kami baru bisa kerumahmu soalnya masih banyak yang harus kami kerjakan buat festival tahunan malam ini. Kau cepatlah pulang sana, kali saja dia memerlukan bantuanmu”
“iya ya...! malam ini kan ada festival”, gumam Rey. “makasih bi. Aku pulang dulu ya ?”
“hati-hati”, sahut paman dan bibi.
Rey berjalan dengan langkah cepat sambil membawa gitarnya dibahu. Dia ingin cepat sampai dirumah.
“kira-kira dia sudah bangun belum ya ?”, gumam Rey dalam hati.

***
Beratus-ratus kali gadis tadi memencet tombol untuk mengganti-mengganti channel tv usang dirumah Rey. Mulai dari channel berita sampai channel acara masak tak ad yang bisa mengusir rasa bosan sang gadis.
“ah...apa channel tv dirumah ini cuma ada segini ?”, eluh sang gadis.
Rasa bosan telah menggerogoti sang gadis sampai-sampai membuat perutnya lapar. Sejak makan sup saat pagi menjelang siang tadi, dia tak memakan apapun setelah itu. Tentu saja dia mulai lapar lagi. Apalagi hari sudah menjelang sore. Dilihatnya jam dinding yang ada di atas pintu menuju kamar, sudah hampir pukul 4 sore. Dia mematikan televisi dan beranjak dari tempatnya menuju dapur. Dilihatnya sebuah kulkas usang yang penampilannya sudah amburadul namun masih berfungsi sebagaimana mestinya. Dibukanya pintu kulkas dan ditemukannya potongan kue coklat yang lumayan besar dan sekitar sepertiga bagian kue telah hilang. Diatas bagian kue yang tersisa itu ada tulisan ‘thday’ dan 2 buah lilin yang menunjukkan angka 8 dan 1.
“huh...??? kue ulang tahun ya ?? lumayan buat dimakan”, kata sang gadis sambil mengeluarkan kue dari kulkas. Dibawanya kue itu keruangan santai dan meletakkannya diatas meja. Diambilnya pisau kecil yang memang ada di wadah kue itu, dipotongnya dan tanpa ampun lagi dimakannya dengan lahapnya.
“enak juga kuenya”, gumamnya dalam hati.
Selagi memakan kue, matanya melihat angka 8 dan 1 yang ada diatas kue itu.
“81 ? 81 tahun...?”,gumamnya dalam hati. Mendadak dia tersedak, kue yang ada ditangannya jatuh. Bergegas dia kembali kedapur, membuka kulkas, mengambil botol kecil yang berisi air mineral yang ada disana dan meminumnya. Perlahan-lahan dia tenang juga.
“jadi yang menolongku...adalah kakek-kakek umur 81 tahun...???”, kata sang gadis dengan nada terkejut. “tapi...masa kakek-kakek pergi kesekolah sih...??”, lanjutnya lagi. “oh...mungkin kerjaannya adalah menjadi guru, makanya dia kesekolah”, tambahnya lagi dengan nada agak tenang kali ini.
“Tapi...”, kali ini pikirannya menerawang lagi. “emang ada ya guru setua itu ? seharusnya kan umur segitu sudah pensiun dan menikmati masa tua”, pikirnya lagi dengan agak bingung bercampur takut. “jangan-jangan dia kesekolah cuma buat menggoda gadis-gadis yang ada disana...!”, pikir gadis tadi yang kepalanya sudah mulai ngaco. “gawat nih...jangan-jangan nanti bila dia pulang aku bisa diapa-apain nih oleh kakek ganjen itu”.
Dari luar terdengar suara pagar terbuka. Mendengar suara itu, gadis tadi menjadi panik.
“apa yang harus aku lakukan ???”, kata sang gadis dengan panik.
Gadis itu berlari menuju dapur untuk bersembunyi. Ketika didapur, dia melihat teflon yang sudah bisa dibilang tak layak pakai yang tergantung di dinding. Diambilnya teflon itu dan berlari menuju pintu. Dia berdiri dibalik pintu sambil memegangi senjatanya dengan kedua tangannya erat, bersiap-siap untuk menyerang bila kakek yang ada dipikirannya masuk kedalam rumah.
Sementara itu, Rey yang tadi membuka pagar sedang mencari kunci rumahnya didalam sakunya. Dia berjalan menuju pintu dan mengarahkan kuncinya kearah lubang kunci. Namun, kuncinya jatuh tanpa sengaja dari tangannya. Rey mengambilnya dan memasukkannya ke gagang pintu. Sesaat dia membuka pintu, sebuah teflon melayang tepat kearah wajahnya.
“PLANG”, teflon tepat memukul hidungnya.
“auw.......”, Rey mengerang sambil memegangi hidungnya dan tersungkur jatuh didepan pintu. Gadis tadi dengan menutup matanya terus saja memukul Rey tanpa ampun.
“dasar kakek ganjen ! jangan harap kau bisa mengambil keuntungan dariku ya...!”, kata gadis tadi sambil memukul.
“aw..aw...aduh...sakit...”, erang Rey ketika dipukul oleh gadis tadi. Sang gadis berhenti memukul setelah mendengar suara Rey.
“suara kakek-kakek di desa begini ya ?”, gumamnya dalam hati, masih tanpa membuka matanya karena takut. “atau telingaku yang bermasalah ya ??”, pikirnya lagi. Untuk meyakinkan dirinya sendiri dengan apa yang dia dengar, gadis itu memukul Rey lagi.
“auw...hey...auw..hen..ti...hentikan...”, erang Rey ketika dipukul oleh gadis tadi berkali-kali. Kali ini dia memang yakin dengan apa yang dia dengar. “suaranya tidak terdengar seperti kakek-kakek sedikitpun”, gumamnya. Perlahan-lahan dibukanya matanya. Dilihatnya seorang laki-laki remaja yang seumuran dengannya sedang memegangi hidung. Melihat Rey, gadis tadi sontak langsung panik.
“eh...kamu bukan kakek-kakek ganjen ya ?”
“apa kau bilang ? jelas-jelas aku ini bukan kakek-kakek”, sahut Rey. “kenapa kau memukulku ?”
“maaf...aku tidak sengaja”, kata gadis tadi. “aku kira kau kakek ganjen yang mau memanfaatkanku”, tambahnya. “maaf maaf maaf”
Gadis tadi membantu membangunkan Rey yang tadi jatuh dan membawanya masuk kedalam rumah. Pintu ditutup oleh gadis tadi dan menghampiri Rey yang masih memegangi hidungnya yang kena pukulan tadi.
“sini biar aku lihat hidungmu”, kata gadis.
“tidak usah”, sahut Rey. “kau ambilkan saja tissu yang ada di atas meja dalam kamar”
Gadis tadi menurut. Dia masuk kedalam kamar dan mengambil tissu dari atas meja seperti yang dibilang Rey. Diserahkannya tissu itu kepada Rey. Rey menggunakan tissu itu kehidungnya. Bercak merah terlihat di tissu.
“wah...kau berdarah”, erang gadis tadi. “maaf...aku benar-benar minta maaf...aku menyesal”, sesal sang gadis.
“sudahlah...tak apa-apa”, balas Rey. “lagipula sebentar lagi juga pendarahannya berhenti”, lanjutnya. “oh iya bagaimana kondisimu ?”
“huh ? yah...aku sudah baikan”
“baguslah kalau begitu”, sahut Rey. “hey...kenapa kau memukulku tadi dan kenapa kau mengira aku adalah kakek ganjen ?”, tanya Rey dengan nada agak sedikit berang. Melihat hal ini, gadis tadi menjawab sambil memasang wajah tak bersalah.
“aku kira kau kakek ganjen yang pengen mengambil untung dariku”, jelasnya. “habis...di kue ulang tahunmu itu angka lilinnya 81 sih”, sambil menunjuk kearah kue ulang tahun Rey yang ada diatas meja.
Rey melongo. Dia berjalan mendekati kue dan memutar kue itu. Sekarang dari sudut gadis tadi angkanya terlihat menjadi 18.
“matamu katarak ya ??”, ejek Rey.
“oh...18 ya...??? hehehe..maaf...aku salah lihat”, sahut gadis itu sambil tertawa. “habis...posisi kuenya dalam kulkas menunjukkan angka 81 trus angka satunya ga ada topinya sih...cuma lilin batang lurus begitu makanya aku ga tahu yang mana yang benar, 81 atau 18”, sahut gadis itu membenarkan dirinya.
Rey hanya menatap sinis gadis itu sedangkan gadis tadi cuma tersenyum centil sambil tertawa kecil. Darah di hidung Rey sudah mereda, Rey bertanya.
“oh iya, namamu siapa ?”
“namaku ? namaku Erika, Erika Margharetta”
Rey tersedak mendengarnya. Erika yang melihat hal ini heran sendiri dibuatnya.
“coba kau ulang sekali lagi ? telingaku agak bermasalah”, pinta Rey.
“aku bilang namaku Erika Margharetta”, sahut Erika dengan suara yang agak keras sedikit.
“kau Erika ?? Erika yang diculik itu ??? artis pendatang baru yang terkenal dan anak pemilik perusahaan Margharetta Corp itu ?”
“yap...itu aku”, sahut Erika membenarkan.
Rey masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan gadis itu. Mana mungkin artis terkenal itu, sekalipun dia diculik, dia bisa ada didesa ini.
“ah...kau bohong kan..?? mana mungkin kau Erika yang itu”, kata Rey tak percaya.
“huh...dasar...kau tidak percaya padaku ya ?”, sahut Erika sedikit marah. “apa wajahku ini bukan Erika yang sering ada di TV ?”
“mmm...kalo wajahmu sih...agak mirip sih..”, sahut Rey. “tapi...mana mungkin dia itu kau”, tambah Rey dengan nada agak tinggi.
“kalo gitu ayo kita lihat TV”, Erika jengkel sambil menghidupkan TV. Dicarinya channel berita. Saat itu masih iklan yang lewat. Erika duduk didepan TV dengan agak jengkel sedangkan Rey melirik kearah Erika, menatap Erika dengan seksama, apa benar dia Erika yang artis itu. Tak beberapa lama acara berita mulai lagi. Beruntung acara kali ini tentang penculikan Erika. Di TV terpampang jelas foto Erika. Tanpa memperdulikan apa yang dikatakan pembaca berita, Erika berkata kepada Rey.
“nah...sekarang bandingkan wajahku dengan foto yang ada di TV, sama atau tidak ??”, perintah Erika.
Rey menurut. Dia menatap wajah Erika dengan seksama, lalu memalingkan wajahnya kearah TV dan memerhatikannya dengan teliti. Berulang-ulang dia melakukannya.
“bagaimana ?”, tanya Erika.
“hem...mirip”, balas Rey.
“bukan mirip lagi...memang foto di TV itu aku...huh....”, balas Erika dengan nada gusar. Rey yang melihat Erika marah cuma bisa melongo. Kali ini Rey percaya bahwa yang dihadapannya memang artis yang ada di TV.
“yah...baiklah, aku percaya bahwa kau Erika yang itu”
“nah...gitu kan lebih baik, hehehe...”, sahut Erika dengan nada kemenangan. “Trus namamu siapa ?”
“oh...namaku Rey, Rey Milano”
“Rey...??? terima kasih ya Rey karena telah menolongku malam tadi”
“tak usah dipikirkan”, balas Rey. “kamu lapar ya ?”, tanya Rey mengalihkan pembicaraan.
“hehe...iya...”, sahut Erika agak malu. “habis...makanan pagi tadi sudah habis sih...”
“kenapa ga’ masak aja sendiri ?”, tanya Rey. “kan di kulkas ada beberapa bahan makanan, walaupun cuma sedikit tapi kan masih bisa dimasak buat makan”.
“hehe...masalahnya aku tidak bisa masak”, sahut Erika tertunduk malu.
“kau tidak bisa masak ?”, tanya Rey tertegun. “i see...”, sahut Rey yang terlihat sedang berpikir.
“huh ? kenapa ?”
“tidak ada apa-apa”, balas Rey. “ya sudah aku akan masak untukmu, tapi jangan komplain ya tentang masakanku ?”, pinta Rey.
“okay bos....”, sahut Erika dengan nada riang.
Rey beranjak kedapur sambil membawa teflon yang tadi digunakan Erika untuk menghajarnya. Dia mengambil beberapa bahan dari kulkas untuk memasak. Melihat ini, Erika menawarkan bantuan.
“perlu bantuan ?”
“tidak usah”, balas Rey dari dalam dapur. “kau duduk saja disana, aku sudah biasa kerja sendiri”, tambah Rey. “lagipula kondisimu belum baik seutuhnya, kau istirahat saja”.
“ya sudah kalau begitu”, sahut Erika kecewa sambil memalingkan wajahnya kearah TV dan menyalakannya.

***
BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar