Kamis, 28 Mei 2009

Cuplikan

Honey Bread

Apa jadinya kalau seorang anak desa miskin mendadak menjadi orang kaya cuma gara-gara tidak sengaja menolong seorang gadis yang tidak dia kenal ?. Inilah yang dialami oleh Rey, anak yang baru saja berusia 18 tahun, yang tidak sengaja menolong Erika, seorang publik figur ngetop, vokalis dari band wanita ‘GALS’, dan anak dari pemilik perusahaan besar ‘Margharetta Corp’. Dia mendapatkan hadiah uang yang sangat banyak dari ayah sang gadis yang ditolongnya.
Hidupnya berubah drastis ketika dia hijrah ke kota besar dimana Erika tinggal. Dia masuk kesebuah sekolah favorit, tempat sekolahnya para anak orang kaya dan beken. Tentu saja hal ini membuat Rey ditimpa banyak masalah. Rey, anak desa yang miskin, super kuper, mega gaptek, dan tidak tahu apa-apa dengan kehidupan kota, tentu saja mengundang banyak problem-problem saat dia tinggal di kota. Apa saja yang dialami Rey saat hidup dikota dengan segala kemewahannya ? banyak hal lucu yang terjadi selama Rey tinggal dikota. Don’t miss it. Honey Bread.... n_n v


W I N D

Takdir Yuya Griffin, 17 tahun, anak kelasa 2 SMA, culun dan bersahaja, berubah saat dia bertemu dengan orang misterius yang membawa 2 buah Prox, benda mistik yang misterius dan memiliki kekuatan magis didalamnya. Satu berwarna perak dan yang satu berwarna putih. Yuya ditugaskan untuk menemukan orang yang bisa membuka kedua Prox itu. Banyak hal aneh terjadi setelah dia membuka Prox warna perak yang diberikan oleh orang misterius tersebut. Dia memiliki kemampuan untuk mengontrol angin seperti yang dia inginkan. Sebenarnya apa Prox itu ?, inilah yang menjadi misteri bagi Yuya.
Sejak saat itulah, Yuya bertemu banyak teman dan musuh. Kehidupannya berubah 180 derajat. Kejadian-kejadian lucu dan menarik banyak yang terjadi selama dia mencari orang yang bisa membuka Prox warna putih. Bersama teman-temannya, mampukah Yuya menemukan sang pemilik sesungguhnya Prok warna putih ? dan mampukah dia menghadapi semua rintangan yang akan dihadapinya kelak ?. Read....!!! W I N D ... n_n v

W I N D

1. Prox

Senin, 7 April 2033. Hari telah menjelang sore, tak terasa bel tanda pulang sekolah telah berbunyi. Murid-murid SMA Techwill di kota Sytlus berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing. Ada seorang anak laki-laki yang berlari keluar kelasnya dengan sangat terburu-buru. Tak sengaja dia menabrak seorang murid laki-laki lain dan sampai membuatnya terjatuh.
“hey...kalo jalan lihat-lihat donk”, kata siswa yang ditabrak tadi kepada anak yang sedang lari di koridor sekolah. Sambil memalingkan muka anak yang lari tadi tersenyum.
“maaf...aku ga’ sengaja, aku harus buru-buru”
“huh...ternyata dia yang nabrak aku, aku kira tadi siapa, huh...” eluh siswa tadi dengan nada sedikit heran kepada teman yang ada disampingnya.
“hem...??? kenapa ya dia lari ?? emang ada kebakaran ya disekolah kita ???”, temannya bertanya. “.
“Mana ada, ngaco aja kamu ini”
“habis..ga’ biasanya dia lari-lari begitu. Ada apa ya ??”
“mana aku tahu” sahut siswa tadi.
Siswa yang lari tadi dengan cepatnya pergi meninggalkan semua murid yang ada di sekolah itu. Seperti perlombaan lari dia lari tanpa toleh kanan toleh kiri. Dia tidak peduli sama sekali dengan keadaan sekitarnya. Sampai di perempatan di berbelok kearah kanan dan singgah disebuah toko roti. Dilihatnya toko itu sedang sepi pengunjung. Tanpa ragu lagi dia membuka pintu toko yang transparan karena terbuat dari kaca dan langsung menuju penjaga toko yang sedang berdiri didepan meja kasir.
“pak...aku sudah sampai. Mana yang harus aku kerjakan ?” dia bertanya dengan semangatnya.
“oh..kau Yuya ! iya itu tolong diantarkan semuanya kerumah pelanggan ya ! alamat rumah para pelanggan beserta pesanannya sudah tercatat di kertas itu”, sambil menunjuk selembar kertas yang terletak diatas kotak berisi roti.
“tapi ada imbalannya donk ?”
“hehe, urusan itu gampang. Kau sudah sering membantuku disini. Sebagai imbalannya kau boleh ambil apa saja yang kau mau di toko ini. Gimana ?”
“sip...dah ! aku berangkat”, sambil membawa kotak berisi roti keluar toko.
“hati-hati nak !”
Keluar dari toko dia menuju garasi yang terletak disamping toko itu. Diambilnya sepeda dan meletakkan kotak tadi di belakang. Dalam sekejap saja dia sudah mengayuh sepedanya menuju tempat yang tertulis di selembar kertas tadi.

***
Petang menjelang, anak tadi mengayuh sepeda dengan riang menuju toko roti. Sesampainya disana, dimasukkannya sepeda ketempat semula dan berlari masuk ke toko roti.
“semua rotinya sudah aku antarkan ketempatnya masing-masing. Tak ada complain satupun”
“kau memang bisa diandalkan. Sebagai hadiahnya ambillah apa saja yang kau suka”
“berapa banyak ?”
“sebanyak yang kau mau”, sambil tersenyum.
“hehe....thank u pak”
Dengan senangnya dia mengambil roti-roti sebanyak yang dia mau dan memasukkan kesebuah kantong yang memang sudah tersedia di toko itu. Setelah merasa cukup dia menghampiri bapak tadi.
“terima kasih ya pak ! dengan roti sebanyak ini aku ga’ perlu cari makan malam lagi”
“iya sama-sama”
“aku pulang dulu ya pak ?”
“hati-hati ya”
Sambil membawa bungkusan roti tadi dia berjalan menuju rumahnya. Baru beberapa puluh langkah perutnya sudah mulai berbunyi. Dibukanya bungkusan roti tadi dan memakannya. Sambil memakan roti dia menoleh kearah langit dan bergumam,
“sudah terlalu malam nih. Harus segera pulang”
Dilihatnya ada sebuah gang kecil yang merupakan jalan pintas menuju rumahnya. Gang itu kecil dan gelap. Terlihat angker tapi dia sudah terbiasa berjalan melewati gang itu. Tanpa ada rasa takut dia berjalan memasuki gang itu. Didalam gelapnya gang itu, matanya melihat sesosok bayangan buram. Tak jelas bayangan apa itu namun berbentuk seperti manusia. Namun saat itu dia juga mendengar suara rintihan seseorang. Setelah beberapa saat barulah matanya terbiasa dengan gelap. Sambil berjalan perlahan menuju sosok tadi akhirnya dia menemukan seorang pria dalam keadaan luka parah. Dia langsung berlari menuju pria itu.
“tuan kenapa ? anda tidak apa-apa?”
Sambil terbatuk-batuk dan menahan sakit lukanya, pria tadi menjawab
“tidak apa-apa, tak usah pedulikan aku”
“tidak apa-apa apanya ? anda terluka parah begini. Biar aku bantu berdiri”
Dia membantu pria tadi berdiri dan menyandarkannya di tepi gang. Melihat pria ini terluka parah dan sepertinya sudah mulai sekarat, hatinya terketuk untuk memberikan roti yang ada di kantong di genggaman tangannya.
“tuan, makanlah roti ini, setidaknya cuma ini yang bisa aku berikan kepada tuan”, sambil mengeluarkan roti dari bungkusnya dan memberikannya kepada pria tadi.
“terima kasih banyak”
Pria tadi mengambil roti itu dan memakannya. Bapak tadipun bertanya
“anak muda, siapa namamu ?
“oh...namaku Yuya, Yuya Griffin, aku siswa SMA Techwill kelas 2-1”
“kau tinggal dimana ? dengan siapa kau tinggal ?”
“aku tinggal di sebuah apartemen kecil dekat sini. Aku tinggal sendiri saja disana”
“memang orang tuamu dimana ?”
“orang tuaku meninggal karena kecelakaan lalu lintas ketika aku masih kecil. Dulu aku tinggal dengan kakakku tapi setelah dia menikah aku merasa menjadi beban bagi dia makanya aku pergi dan hidup disini”
“oh...maafkan aku ?”
“tak jadi soal. Jangan bicara terus tuan, luka tuan sangat parah. Ayo kita ke rumah sakit, biar aku antarkan”
“terima kasih Yuya. Aku tidak bermaksud menolak kebaikanmu tapi aku sudah tak bisa ditolong lagi”
“sudahlah jangan bicara seperti itu. Ayo kita segera kerumah sakit”
“anak muda ! aku tak sanggup berjalan lagi”
“biar aku yang menggopohmu sampai rumah sakit”
“terima kasih tapi tak perlu kau repot-repot demi aku. Aku adalah orang asing bagimu”
“ga’ peduli dia orang asing atau orang yang kita kenal yang penting kita harus saling tolong menolong satu sama lain”
“baru pertama kali aku menemukan orang sepertimu, Yuya ! kelihatannya kau pantas mengantikan tugasku”
“tugas ? apa maksud tuan ?”
“aku punya sebuah permintaan kepadamu”, pria tadi berbicara dengan nada menahan rasa sakit sambil memasukkan tangannya kedalam saku jasnya yang compang-camping dan penuh dengan darah.
“tolong temukan orang yang dapat membuka Prox ini !” sambil menunjukkan 2 buah benda berbentuk seperti telur yang sama namun berbeda warna dan motifnya. Satu berwarna Perak berlambang seperti huruf S berwarna putih berbentuk bulan sabit dan ada dua lingkaran di antara ruas huruf S itu dan yang satunya lagi berwarna putih dengan lambang seperti matahari berwarna hitam. Kedua benda itu diserahkannya kepada Yuya. Yuya mengambilnya.
“Prox ? apa itu Prox ?” tanya Yuya dengan heran.
“kau akan tahu bila saatnya tiba. Ingat jagalah benda ini sampai kau menemukan orang yang bisa membuka benda ini. Benda ini bukan dibuka tapi akan terbuka dengan sendirinya jika bertemu dengan orang yang dicari Prox ini. Cuma tersisa 2 prox ini yang masih bisa aku selamatkan. 2 prox ini istimewa jadi jagalah jangan sampai ada yang tahu tentang prox ini”
Pria tadi terdiam sejenak, lalu melanjutkan lagi pesannya.
“inilah takdirmu Yuya. Kau harus menemukan orangnya. Terlebih lagi prox yang berwarna putih itu. Itu adalah kunci dari semuanya”
“baik ! walaupun sebenarnya aku ga’ mengerti dengan apa yang tuan bicarakan tapi aku akan menjaga prox ini sekuat tenaga seperti yang tuan wasiatkan padaku”
“terima kasih banyak, aku senang disaat terakhir seperti ini aku bertemu dengan orang sepertimu, sayang aku tidak bisa bersamamu lebih lama. Selamat tinggal”
Tepat ketika pria itu menghembuskan nafasnya yang terakhir, jasadnya mulai menghilang sedikit demi sedikit. Spontan saja Yuya langsung ambil langkah seribu lari keluar dari gang itu.
Sekejap saja dia telah tiba di depan apartemen mungil miliknya. Sambil berlari dinaikinya tangga sampai hampir terpeleset. Sampai di depan pintu, diambilnya kunci dan masuk kedalam rumah. Spontan dikuncinya pintu seperti orang yang diburu penjahat.
Rumah Yuya kecil. Hanya terdiri dari 4 ruangan yang kecil terdiri dari kamar mandi, dapur, dan 2 ruangan yang sama besar. Satu ruangan dijadikannya sebagi kamar tidur dan yang satunya lagi dijadikannya ruang bersantai.
“tadi apa ya ? hantu ? jasadnya bisa menghilang seperti itu ! Cuma hantu yang bisa seperti itu ! tapi...”
Dilihatnya kearah 2 buah benda berbentuk seperti telur tadi
“ini asli kan ? bendanya saja bisa aku rasakan dengan baik di tanganku”
Perlahan-lahan rasa takutnya mulai hilang. Sekarang dia berpikir apa sebenarnya benda itu. Dikeluarkannya kedua prox dari sakunya dan diletakkannya dilantai. Yuya duduk didepan kedua prox itu.
“masa sih benda ini akan terbuka sendiri ketika bertemu dengan orang yang dicarinya ? emang benda ini hidup ? hem...???”
Ditatapnya kedua prox itu dengan cermat. Mendadak Yuya melihat cahaya muncul dari prox berwarna perak. Cahaya ini mengundang rasa keingintahuannya kenapa benda ini menyala sedangkan yang satunya tidak. Dengan hati-hati diambilnya prox yang berwarna perak dan melihatnya dengan seksama. Mendadak prox perak terbuka dan seberkas cahaya mengelilingi tubuh Yuya dan memasuki tubuhnya. Yuya merasa kesakitan karena cahaya ini sampai dia berteriak. Yuya mengerang kesakitan sampai akhirnya dia pingsan dan tak sadarkan diri.

2. Gadis Centil

Bunyi alarm terdengar dari kamar tidur. Yuya terbangun dari tidurnya
“aku tidur disini ya ? perasaan malam tadi aku memegang prox perak dan keluar cahaya dan mengelilingiku truz....aku ga’ ingat lagi apa yang terjadi selanjutnya”
“ngomong-ngomong dimana prox perak itu ?” pikir Yuya sambil mencari prox perak di sekeliling ruangan. Dicarinya ke setiap sudut, bawah lemari, bawah meja tapi tetap tak ditemukannya prox perak. Dia Cuma melihat prox warna putih yang tetap berada dilantai.
“aneh...! seingatku malam tadi prox perak ada di tanganku tapi sekarang kok ga’ ada ya ?”
Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul 7 pagi. Dengan tergesa-gesa Yuya masuk kekamar mandi. Beberapa saat kemudian dia keluar dan langsung mengambil baju seragamnya. Diambilnya 2 potong roti dari dapur dan sebotol susu dari kulkas dan langsung dilahapnya kilat. Selesai makan Yuya langsung tancap gas menuju sekolah tanpa pikir panjang lagi.
10 menit kemudian dia sudah sampai di gerbang sekolah. Hari agak berbeda dari sebelumnya. Selama Yuya berjalan menuju ruang kelasnya di lantai 2, banyak yang memperhatikannya. Biasanya tak ada yang memperhatikannya sampai sebegitunya karena Yuya dikenal sebagai anak biasa yang agak culun dan lumayan aneh walaupu badannya lumayan tinggi tapi hari ini banyak yang menatapnya dengan heran.
“ada apa sih ? koq banyak yang menatapku ? emang ada yang aneh ya ?” gumam Yuya dalam hati.
Tiga orang siswa datang menghampiri Yuya. Pimpinannya bernama Hanz, lumayan kekar badannya menghalangi jalan Yuya
“hey culun...sudah ganti popok malam tadi ? hehehe...”
Ketiga siswa itu tertawa dengan terpingkal-pingkal, namun Yuya diam saja. Dia emang sudah biasa diejek oleh Hanz. Hanz yang emang terkenal sebagai anak bandel di sekolah yang sering mengolok-olok dan mengerjai Yuya, karena itulah Yuya sudah terbiasa karena memang setiap hari dia diejek.
“minggir ! aku mau lewat !”, Yuya berkata dengan beraninya. Yuya bingung sendiri kenapa dia berani mengucapkan kata-kata berbau menantang seperti itu kepada Hanz ?
“huh ? kau berani bilang begitu padaku sekarang ? hem...kayaknya ada yang berbeda darimu hey culun ! lupakan tentang itu ! kau sudah berani ya ngomong begitu kepadaku ?”
“heh...emang kenapa bila aku ngomong begitu ?” tanya Yuya sambil mendorong tubuh Hanz. Hanz terlempar sekitar 5 meter dan jatuh terjerembab di lantai koridor. Teman-teman Hanz bingung melihat kejadian ini. Yuya sendiri pun bingung melihat apa yang terjadi. Dia bisa mendorong Hanz sampai terjatuh seperti itu. Sontak banyak siswa dan siswi melihat kejadian ini.
Hanz bangun dan berbicara pada Yuya
“kau sudah melakukan hal yang salah hey culun ! aku tunggu kau saat pulang sekolah di taman belakang. Aku hajar kau disana> jang coba-coba kabur atau kau akan tahu sendiri akibatnya”
Dengan nada yang kesal Hanz pergi dari tempat itu dan kedua temannya mengikutinya dari belakang.
“apa yang telah terjadi padaku ? kayaknya ada yang aneh”
Yuya melirik pada 3 orang siswi yang tadi melihat kejadian tadi. Ketiga siswi tadi wajahnya merah dan langsung lari.
“huh ? kok lari ? emang ada apa sih ? tampangku lucu ya ? emang sih tampangku emang lucu coz aku kan terkenal sebagai anak culun! Hehehe...!” gumam Yuya dalam hati sambil berjalan menuju kelasnya.
Ketika Yuya masuk ke dalam kelasnya, semua teman-temannya heran melihat Yuya.
Seorang siswi berbisik kepada temannya
“itu Yuya kan ?”
“kelihatanya emang dia tapi koq beda ya hari ini ?”
“iya ya, jauh berbeda dengan Yuya yang kemarin”
“he-eh”
Yuya heran dengan semua orang yang ada di sekolahnya. Kenapa semua orang memerhatikannya. Ralf, teman akrab Yuya mendekati Yuya
“Yuya ? lo habis kesalon ya ? gila ! beda banget lo hari ini. Ga’ kaya kemaren. Jadi ini alasan lo kemarin lari2 kaya kuda gila kena tusuk pantatnya ?”
“ngaco aja lo ! mana pernah aku kesalon ! emang ada apa sih dengan tampangku ?”
Tanpa berbicara, Ralf menyerahkan cermin yang diambilnya dari laci meja salah satu siswi. Yuya mengambilnya dan melongok ke cermin
“hah..? kenapa wajahku ?”
“tampang culun lo udah ga’ ada lagi bro ! lo guanteng sekarang, hehehe...salut...”
Yuya masih ga percaya dengan apa yang dilihatnya. Tampangnya yang seperti orang bodoh sudah berubah. Matanya yang sayu berubah menjadi mata yang memiliki tatapan tajam dan terlihat tegas. Wajahnya tidak berubah bentuk, namun raut wajahnya berubah dari tampang culun menjadi tampang coverboy yang cool. Melihat hal ini Yuya sontak kaget
“apa yang terjadi padaku ya ?”
“mana aku tahu”
Ralf melihat ke tubuh Yuya
“badan lo koq jadi bagus gini ? lo fitnes dimana ? sehari bisa jadi begini badan lo ? gila...keren !”
Yuya mengangkat kedua tangannya dan melihat lengannya terlihat lebih berisi dari kemarin. Badannyapun terlihat proposional. Yuya heran melihat apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Apakah ini karena Prox itu ? pikirnya.
“ini pasti karena prox kemarin !”
“ha ? prox ? apa itu ?” tanya Ralf dengan nada heran
“bukan apa-apa, ga’ usah dipikirkan”
Dari pintu muncul sesosok laki-laki berbadan tinggi dan tegap, lebih tinggi sedikit daripada Yuya, berkacamata dan ekspresi dingin dari matanya.
“akhirnya Nick muncul juga ! Yuya, aku pengen deh punya otak kayak dia, cerdasnya minta ampun”
“sayangnya otakmu ga’ bisa ditukar dengan otaknya, sekalipun bisa ditukar dia juga ga’ bakalan mau menukarnya dengan otakmu yang jarang dipake itu”
“hehe...benar juga”
Mereka berdua tertawa. Nick melihatnya dan menghampiri mereka
“pagi”
“pagi...” balas Yuya dan Ralf berbarengan
Nick menatap Yuya dengan pandangan sedikit tajam. Melihat ini Yuya juga melakukan hal yang sama kepada Nick lantas bertanya
“ada apa ?”
“tidak ada apa-apa”
Nick meletakkan tasnya diatas mejanya. Nick duduk dibarisan no 2 dari paling kiri dan no 2 dari belakang. Dibelakangnya duduk Ralf dan dikiri Ralf adalah tempat duduk Yuya. Yuya duduk di barisan paling kiri dan paling belakang.
Bel tanda masuk berbunyi. Semua murid menempati tempat duduknya masing-masing. Tak beberapa lama seorang wanita muda masuk. Namanya adalah Moi Hanagi. Biasa dipanggil bu guru Moi. Dia mengajar Geografi di kelas Yuya.
“baiklah kita absen dulu. Andy...”
Bu guru Moi mengabsen murid-muridnya di kelas 2-1. Yuya masih memikirkan apa yang terjadi pada dirinya.
“Yuya Griffin...”, bu guru Moi mengabsen. Yuya yang dari tadi melamun tak menyadarinya sama sekali.
“Yuya Griffin”, suara ibu guru sedikit lebih keras dari sebelumnya.
“eh...Ha..hadir bu”, jawab Yuya dengan tergagap gagap.
“dari tadi kau melamun ya Yuya ?”
“ma...maaf bu..., ga’ sengaja”
Bu guru menanatap Yuya dengan agak heran
“hem...kau tampak beda hari ini ! kelihatannya...hem....”
“apanya yang berbeda bu ?”
“kau terlihat manis juga, hehe...”, kata bu guru Moi agak centil
Wajah Yuya langsung merah karena bu guru Moi selain masih muda tapi juga berparas cantik dan punya bentuk tubuh yang bagus. Banyak yang mengatakan bu guru Moi adalah guru yang paling seksi dan cantik di sekolah jadi wajar kalau wajah Yuya langsung merah bila dibilang begitu oleh bu guru Moi. Semua siswa melirik kepada Yuya. Ralf tertawa sedangkan Nick menatap Yuya dengan tajam. Bu guru Moi melanjutkan mengabsen siswa hingga selesai dan memulai pelajaran.

***
Bel tanda istirahat berbunyi. Semua murid merapikan buku mereka masing-masing. Ada sebagian yang keluar kelas untuk pergi ke kantin dan ada juga yang tetap di dalam kelas sambil membuka bekal mereka. Ralf yang dari tadi mengeluh pengen makan akhirnya tidak tahan lagi.
“Yuya, ke kantin yuk ?”
“ok deh, yuk”
Mereka berdua berjalan menuju kantin dengan agak uring-uringan soalnya dari tadi perut mereka sudah keroncongan. Begitu sampai di kantin, Ralf terhenyak melihat kantin sudah ramai. Hampir semua tempat duduk telah terisi. Dia menoleh kekanan dan kekiri untuk mencari tempat duduk yang kosong dan berhasil.
“nah...disitu ada meja kosong satu, cepetan, entar ada yang ngisi lagi”
Sambil setengah berlari Ralf mendekati tempat kosong itu akhirnya berhasil meraihnya. Yuya yang melihat polah temannya hanya tersenyum.
“bu kantin, pesen spagetty ya ama lemon juice ya ?”, Ralf menyeru kepada ibu kantin yang berdiri kira-kira 3 meter dari mereka.
“Yuya, kamu pesan apa ?”, Ralf nanya
“aku ga’ mesan ! jus kaleng aja deh...lagi boke nih. Aku ke mesin minuman dulu ya sebentar”, sahut Yuya sambil beranjak dari tempat duduknya.
“yah...kenapa sih Yuya boke tepat disaat aku juga lagi tongpes (kantong kempes)”, Ralf menyela napasnya.
Ibu kantin kembali menuju meja Ralf dan Yuya sambil membawa pesanan Ralf. Ralf sudah meler melihat spagettynya. Beberapa saat kemudian Yuya kembali dan duduk di kursinya kembali.
“Pop juice, lumayan buat diminum dan ga’ mahal”
“aku jadi ga’ enak nih makan sendiri”
“sudah makan aja. Aku udah biasa ga’ makan siang”
“ya udah”
Tanpa komentar lagi, Ralf langsung melahap makanannya seperti orang ga’ makan 10 tahun. Saking rakusnya Ralf makan sampai-sampai mulutnya blepotan dengan spagetty. Yuya yang dari tadi melihat cuma cengengesan. Selagi meminum pop juicenya, Yuya melihat cewek cantik berambut coklat dengan poni menyamping kekiri dengan juntaian sedikit berpilin di kedua telinganya celingak-celinguk kebingungan. Kelihatannya dia mencari sesuatu pikir Yuya. Cewek tadi melongok kearah Yuya, dan berjalan mendekat. Yuya acuh tak acuh saja.
“permisi kakak...boleh saya duduk disini ??” tanya gadis tadi dengan ramah dan penuh senyuman.
Mendengar suara cewek, Ralf langsung melongok dan terkejut melihat cewek cantik berdiri dihadapannya. Saking terkejutnya sampai-sampai dia tersedak. Yuya mengambilkan lemon juice Ralf untuk menolong temanya yang tersedak.
“aje gile...bidadari dari mana nih ?” tanya Ralf pada Yuya
“bersikan dulu wajahmu yang belepotan pake tisu baru ngomong. Malu-maluin aja”,balas Yuya dengan nada agak sedikit menegur. Ralf mengambil tisu yang ada di sampingnya dan membersihkan mulutnya dengan tisu itu.
“boleh...?”,tanya gadis itu sambil menunjuk ke satu kursi kosong yang ada di meja mereka.
“ah...iya...silahkan”,balas Yuya sambil tersenyum sopan. Yuya bertanya
“anak kelas 1 ya ?”
“iya kak, namaku Aya Coyle biasa dipanggil Aya. Saya murid baru disini. Saya anak kelas 1-3. Saya ke tempat kakak soalnya cuma disini yang saya lihat ada kursi kosongnya”
Kali ini Ralf kembali tersedak. Yuya yang melihat tingkah temannya ini mengerutkan dahinya.
“Aya ? Aya Coyle ? artis pendatang baru yang sedang naik daun itu kan ?”,sahut Ralf dengan nada terhenyak. Yuya cuma melongo.
“iya kak”
“oh...benarkah itu kau ?, pantesan aja wajahmu familiar. Oh iya...kenalkan namaku Ralf, Ralf Torsley. Senang berjumpa denganmu. Aku fansmu lho...”, kata Ralf dengan gaya sok kenal sambil menjulurkan tangannya. Aya cuma diam saja. Hati Ralf retak melihat sikap dingin Aya. Aya melirik kepada Yuya.
“nama kakak siapa ?”
“oh..namaku Yuya, Yuya Griffin. Salam kenal”
“kak Yuya...nama yang bagus..hehe...”, Aya tertawa centil
“hehe...”,balas Yuya dengan senyum.
“oh iya maaf ya kak udah mengganggu”
“ah...ga’ apa-apa koq. Kami ga’ merasa terganggu tuh”, sahut Ralf memotong, tapi lagi-lagi Aya tak menggubrisnya. Hati Ralf terbelah dua. Aya melihat kearah Ralf, lalu kearah Yuya lagi
“kak Yuya ga’ makan ?”
“hehe...ga’...”
“lagi diet ya ?”
“ga tuh...”
“truz knp ga’ makan ?”
“lagi malas aja”,sahut Yuya dengan nada yang kurang meyakinkan. Ralf yang mendengar percakapan mereka cuma diam meratapi nasibnya yang tak digubris Aya.
“oh...! kalo gitu kak Yuya mo makan apa ? biar Aya yang bayar”
Mendengar ini Ralf kembali tersedak untuk yang ketiga kalinya. Untuk yang kali ini rasanya Ralf kayak orang lagi sekarat. Dengan tergopoh-gopoh diraihnya lemon juice miliknya dan menegaknya sampai habis. Akhirnya Ralf tenang juga. Yuya memandang sinis temannya itu.
“ah...ga’ usah repot-repot. Aku minum pop juice ini aja udah cukup kok”
“kak Yuya ga’ merepotkan koq. Hitung-hitung sebagai ungkapan rasa terimakasih Aya karena sudah mengijinkan Aya duduk disini”
“ah...ga’ usah berterima kasih. Ga’ apa-apa koq”
Perut Yuya ternyata tak bisa berbohong. Perut Yuya berbunyi tanda dia memang lapar.
“tuh kan...apanya yang ga’ apa-apa. Ya udah kalo gitu biar Aya yang pesankan deh”, sambil melihat daftar menu.
“yap ! yang ini aja deh. Bu...saya pesan ini ya dua sama minumnya yang ini dua”, sambil menunjuk ke menunya.
“tunggu sebentar ya”,sahut ibu kantin.
Yuya hanya tersipu malu. Perutnya sekarang emang tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa dia memang lapar.
“oh iya, kak Yuya kelas berapa ?, boleh tahu ga’ ?”, tanya Aya dengan sedikit centil.
“aku anak kelas 2-1, sama dengan Ralf”
“oh...entar misalnya Aya perlu bantuan, Aya minta bantuan kak Yuya ya ? soalnya Aya belum punya banyak teman disini”
“eh..iya ! boleh aja koq. Cari aja aku dikelasku bila Aya perlu bantuan”
“benarkah ? aduh...senangnya kak Yuya mau bantu Aya”
Selagi mereka masih berbincang-bincang, Hanz datang menghampiri mereka.
“oh...si culun rupanya disini ya ?”,ejek Hanz.
Hanz melirik kepada Aya yang duduk di hadapan Yuya.
“hem...hebat juga kau culun, bisa dapat cewek cantik kaya gini, tapi kau ga’ pantas dapat cewek cantik seperti ini. Biar aku saja yang menggantikanmu”, kata Hanz sambil menggoda Aya. Hanz ingin menyentuh dagu Aya tapi Yuya menangkap tangannya.
“jangan membuat keributan disini. kau kan bilang sepulang sekolah kita selesaikan diluar. Jangan disini”, sahut Yuya sambil melempar tangan Hanz menjauh dari Aya. Ralf yang melihat ikut melerai.
“hey..Hanz..disini kantin sekolah, bila ribut disini bakalan banyak masalah jadi sebaiknya kau pergi”, Ralf menjelaskan dengan memasang tampang marah.
“okay...aku tunggu sepulang sekolah di halaman belakang. Tapi awas jangan coba-coba kabur”,hanz menggeretak.
“aku tak kan lari”,sahut Yuya dengan yakin.
“okay...Fred, Tom, ayo kita pergi”,Hanz mengajak 2 temannya pergi. Akhirnya situasi tenang. Aya yang dari tadi cuma melongo karena melihat situasi tadi akhirnya berani berbicara.
“kak Yuya kenapa melakukan hal itu ? jadinya kak Yuya dapat masalah deh”
“sudah ga’ apa-apa, lagipula masalahnya juga dari tadi pagi koq, jadi kamu ga’ usah takut”,jelas Yuya sambil tersenyum.
Tak beberapa lama ibu kantin datang membawakan pesanan. Yuya melihat apa yang dipesan Aya. Makanan yang paling mahal di kantin.
“ga’ salah nih ?”,tanya Yuya dengan nada terkesima.
“ga’ ! ga’ ada yang salah koq. Makan aja. Biar Aya yang traktir. Yuk makan sama-sama”,balas Aya sambil mengambil sendok dan garpu.
Berhubung sudah ditraktir dan makannya sudah ada, akhirnya Yuya tidak bisa menolak lagi. Menu ‘beef stick’ memang yang paling mahal dan Yuya belum pernah memakannya. Memang nasibnya bagus hari ini pikirnya. Ralf yang cuma bisa melihat ngiler aja soalnya dia sudah makan duluan dan tidak mungkin ditraktir Aya juga. Memang hari ini adalah hari yang sial bagi Ralf. Sudah beberapa kali tidak digubris oleh Aya, sekarang dia cuma bisa melototin Yuya makan beef stick yang mahal. Hati Ralf remuk.
Saat makan, Aya mencoba bertanya kepada Yuya
“kak Yuya...nomor Hpnya berapa ? biar Aya bisa calling-calling gitu kali aja bisa nanya-nanya”
“mmm...kalo itu...”
“Yuya ga’ punya handphone”,Ralf memotong dengan mantap. “kali ini pasti berhasil mendapatkan perhatian Aya”,pikir Ralf.
“gimana kalo nomerku aja ? aku kan juga satu kelas dengan Yuya dan aku juga bisa bantu kamu dengan baik koq...”,sambung Ralf dengan nada yakin.
“kak Yuya ga’ punya handphone ya ? yah...”,kata Aya tanpa memperdulikan sedikitpun perkataan Ralf. Kali ini hati Ralf benar-benar menjadi abu gosok.
Tak terasa bel tanda masuk berbunyi sesaat setelah Yuya menghabiskan makanannya. Yuya dan Ralf bangkit dari kursinya masing-masing sedangkan Aya pergi ke meja kasir untuk membayar harga makanan. Saat itu Ralf berbisik pada Yuya.
“duitnya banyak tuh ! artis...”
“mikir apa sih kamu itu ?”,sahut Yuya dengan pandangan sinis.
Setelah membayar, Aya mendekati mereka lagi.
“kak...terima kasih udah menemani Aya makan siang. Entar kapan-kapan kita makan bareng lagi ya ?,tenang...Aya yang bayar...hehehe..., dah kakak...”,sambil berlari meninggalkan Yuya dan Ralf menuju kelasnya. Yuya dan Ralf pun juga berjalan menuju kelas mereka beriringan dengan murid-murid kelas 2 yang lain yang sama-sama makan di kantin.

***
Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Semua murid bergegas pulang. Ralf yang dari tadi gelisah memikirkan nasib temannya sepulang sekolah ini mendekati Yuya.
“Yuya...kau yakin mau menghadapi tuh si jagal dari tong sampah ?”, tanya Ralf sambil nyengir. ‘kelihatannya dia marah banget tuh sama lo...bisa dibunuhnya lo”, lanjut Ralf dengan nada agak menakuti.
“kalau aku mati kan lumayan kelas ini agak longgar sedikit”, jawab Yuya bercanda.
“ah...lo jangan bercanda donk...serius nih...”, balas Ralf dengan ekspresi agak takut. “kau akan menemuinya sekarang ?”
“yap...lagipula bila aku lari hari ini, besok dia juga bakalan mencari aku”, sahut Yuya dengan tenang. “aku kan tidak mungkin terus menghindar, hari ini atau nanti kan sama saja, cuma masalah waktu”.
“iya sih...tapi kan....”
“sudahlah...”, kata Yuya sambil beranjak dari kursinya, mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu keluar. Belum sampai didepan pintu, Yuya memalingkan wajahnya kearah Ralf.
“kau pulang saja, aku akan baik-baik saja”, ucap Yuya sambil berjalan meninggalkan kelas. Ralf hanya termangu berdiri menatap pintu memikirkan apa yang bakalan terjadi pada sahabatnya itu.
Yuya berjalan menuruni tangga dan menelusuri koridor menuju halaman belakang sekolah yang sudah mulai sepi karena semua siswa sudah pulang, hanya beberapa siswa saja yang masih terlihat berjalan di koridor sambil membawa buku dari perpustakaan. Ada sedikit perasaan takut dalam benak Yuya namun dia beusaha untuk melawannya.
“aku bukan seorang pengecut”, pikirnya meyakinkan keteguhan hatinya. Tak terasa dia sudah berada diujung koridor dan satu langkah kakinya membuat dia keluar dari gedung sekolah. Dia terus berjalan menyisir gedung sekolah samapi keujung. Dilihatnya ada 3 orang yang sudah tidak asing lagi baginya. Hanz, Fred, dan Tom sudah berdiri dibawah pohon menanti kedatangan Yuya. Fred melihat Yuya dan berbicara kepada Hanz.
“bos...lihat tuh, sia anak culun belagu sudah datang buat dihajar”, katanya sambil cekikikan. Tom tertawa melihat Yuya berjalan agak lamban mendekati mereka bertiga. Yuya terus berjalan sampai hanya kira-kira 6 langkah dari Hanz dan kawan-kawan. Melihat Yuya berdiri dihadapannya, Hanz tersenyum puas.
“ternyata kau berani juga datang sendirian menghadapiku !”, kata Hanz dengan kemenangan. Dia memukulkan tangan kanannya ketelapak tangan kirinya, bersiap-siap untuk menghajar Yuya. Melihat hal ini, Yuya hanya diam dan tak bergeming sedikitpun dari tempat berdirinya. Ekspresinya tak berubah sedikitpun. Tak ada ekspresi rasa takut yang tergambar dari wajahnya. Melihat hal ini, Hanz naik pitam. Hanz berlari mendekati Yuya. Dia melayangkan tangan kanannya kearah wajah Yuya. Pukulan Hanz tepat mendarat di wajah Yuya. Yuya jatuh tersungkur. Dari mulutnya keluar darah. Yuya bangkit untuk berdiri dan menatap Hanz dengan tatapan tajam. Hanz dongkol melihat sikap Yuya.
“beraninya kau menatapku seperti itu ?’, teriak Hanz. Hanz mendekati Yuya, menarik kerah baju Yuya dengan tangan kiri dan mengangkatnya. “kau sudah bosan hidup ya ?”.
“hajar bos”, sahut Fred mendukung Hanz. “jangan beri ampun”, sahut Tom menambahkan.
“tak ada gunanya juga aku melawanmu”, sahut Yuya tenang.
“heh...bagus...kau akhirnya menyadarinya bahwa kau memang tidak berdaya, kau lemah, berani-beraninya kau menantangku”, kata Hanz dengan congkaknya, merasa dirinya telah menang.
“heh...kau salah paham”, sahut Yuya. “aku tak merasa tak berdaya dihadapanmu”, lanjut Yuya. “aku cuma tidak mau memperpanjang dan memperbanyak masalah denganmu”, sambung Yuya sambil menatap tajam mata Hanz.
“apa kau bilang...”, teriak Hanz dengan marah. Hanz mengepalkan tangan kanannya, bersiap untuk memukul wajah Yuya lagi. Namun, sikap Yuya tetap tak berubah sama sekali. Saat Hanz melayangkan pukulannya kearah wajah Yuya, terdengar suara teriakan seorang laki-laki.
“Hentikan...”, teriak Ralf dari kejauhan. Ralf berlari mendekati mereka sambil memegangi sebilah tongkat kayu yang lumayan panjang. “lepaskan temanku...”.
“apa yang kau lakukan disini, Ralf ?”, teriak Yuya. “cepat pergi...”.
“rupanya ada cecurut yang pengen merusak pesta ya ?”, kata Hanz tersenyum. “Fred, Tom, bereskan pengganggu ini”, perintahnya kepada kedua temannya.
“akhirnya ada juga yang bisa dihajar”, kata Tom senang. Meraka berdua menghadang Ralf yang sedang berlari mendekat. Mereka berdua memegang tongkat baseball ditangan mereka masing-masing. Melihat ada yang menghalangi jalannya, Ralf berhenti mendekat. Merasa dia tak memiliki kesempatan untuk menang, Ralf berkata.
“kalau berani ayo satu lawan satu, dengan tangan kosong”, kata Ralf sambil menjatuhkan tongkat yang ada ditangannya. Fred melempar tongkat baseballnya ke samping.
“baiklah...aku hadapi kau, hehe...”, Fred tertawa. Tom memperhatikan mereka.
Ralf berlari kearah Fred sambil mengarahkan kepalan tangannya kearah wajah Fred. Fred berhasil menangkisnya dengan tangan kanannya, dan melayangkan pukulan kearah wajah Ralf dengan tangan kiri. Ralf jatuh tersungkur. Fred mendekatinya, mengangkat kakinya dan menginjak tubuh Ralf yang sudah jatuh tersungkur di tanah. Fred melakukan ini berulang-ulang. Ralf mengerang kesakitan.
“coba kau lihat temanmu itu, tak berdaya seperti dirimu, mau jadi pahlawan kesiangan ?”, kata Hanz kepada Yuya sambil tertawa puas. Tom ikut-ikutan tertawa. “sekarang giliranmu culun”.
Hanz melayangkan pukulannya sekali lagi kearah wajah Yuya. Yuya jatuh untuk kedua kalinya. Dia mengerang kesakitan. Hanz mendekati Yuya yang terjatuh dan menarik kerah baju Yuya.
“inilah akibatnya bagi orang sepertimu”, bisik Hanz ketelinga Yuya.
Yuya hanya menatap Hanz dengan pandangan yang sama dengan sebelumnya. Hanz benar-benar marah kali ini. Dia akan memukul Yuya tanpa ampun kali ini. Namun, tepat saat itu, Aya datang sambil berlari mendekati mereka.
“jangan sakiti kak Yuya....”, teriak gadis ini.
Hanz memalingkan wajahnya kearah Aya. Melihat Aya, Yuya shock. Yuya berteriak kepada Aya.
“apa yang kau lakukan..? cepat pergi dari sini !”. “ini tidak ada hubungannya denganmu”, lanjut Yuya.
“aku tidak akan pergi dari sini”, teriak Aya. Aya berlari mendekati Hanz dan menarik tangan Hanz agar bisa melepaskan Yuya. “lepaskan kak Yuya”, teriaknya.
“minggir sana”, teriak Hanz sambil melayangkan punggung tangannya kearah Aya. Hanz menampar Aya tepat di pipi. Genggaman Aya terlepas dari tangan Hanz. Aya terjatuh namun masih bisa menopang badannya dengan kedua tangannya. Aya memegangi pipinya. Dari matanya terlihat oleh Yuya air mata. Air mata jatuh kepipi Aya. Yuya tertunduk.
“kau...”
Hanz mengalihkan pandangannya kearah Yuya. Angin berhembus kencang seketika. Angin terasa begitu kencang. Hanz menyipitkan matanya karena debu-debu pasir bertebaran oleh angin yang kencang. Fred dan Tom menggunakan kedua lengan mereka untuk melindungi mata mereka.
“apa yang terjadi ?”, teriak Tom.
“aku juga tidak tahu”, balas Fred. Ralf yang tadi tersungkur mengangkat kepalanya untuk melihat apa yang terjadi. Dia menyipitkan matanya karena sulit melihat diantara gumpalan debu dan pasir yang beterbangan.
“beraninya kau memukul seorang wanita dihadapanku sampai membuatnya menangis”, kata Yuya masih menunduk. “tak akan kuampuni kau...”, teriak Yuya sambil menegakkan kepalanya. Angin bertambah kencang bersama teriakan Yuya. Yuya menggenggam lengan Hanz yang memegangi kerah bajunya. Digenggamnya lengan Hanz dengan kuat. Hanz berteriak kesakitan karena genggaman kuat Yuya. Genggaman Hanz dikerah Yuya terlepas. Yuya menarik lengan Hanz kesamping, menatap mata Hanz dengan pandangan kemarahan. Hanz melihat tatapan mata Yuya namun dia masih mengerang kesakitan. Yuya berdiri dan mencengkram leher Hanz dengan tangan kanan. Hanz tak berdaya dibuatnya. Tubuh Hanz terangkat keatas dan Yuya melempar Hanz, melepaskan cengkramannya dari leher Hanz. Hanz terlempar kira-kira 20 langkah dari tempat Yuya berdiri dan jatuh terjerembab diiringi erangannya. Hanz yang masih tersungkur menatap kedua temannya yang melongo melihat kejadian itu.
“hey...apa yang kalian lakukan ?”, teriak Hanz kepada kedua temannya. “serang dia”, perintah Hanz.
Fred dan Tom mengambil tongkat baseball mereka masing-masing dan berlari kearah Yuya sambil mengangkat tongkat baseball mereka. Posisi Yuya yang sebelumnya membelakangi mereka berbalik dan mengayunkan tangan kirinya kearah Fred dan Tom. Berbarengan dengan ayunan tangan Yuya, sekilas terlihat kibasan angin dengan kencang menuju mereka berdua. Kibasan angin itu melalui atas kepala Fred dan Tom. Saat itu pula tongkat baseball yang ada di tangan mereka terpenggal menjadi dua dan penggalannya jatuh tepat dihadapan mereka. Mereka berdua saling menatap satu sama lain karena heran. Yuya yang melakukan hal itu juga cuma melongo, tak percaya dengan apa yang dia lihat. Fred san Tom tersadar dari keheranan mereka. Mereka melempar potongan tongkat baseball kesamping dan bersiap untuk menerjang Yuya. Tom terlebih dahulu melancarkan serangan kepada Yuya. Tom melancarkan pukulan kearah wajah Yuya, namun Yuya dapat menghentikan serangan Tom dengan menangkap genggaman tangan Tom menggunakan tangan kirinya. Yuya mencengkram tangan Tom dengan kuat sehingga Tom menjerit kesakitan. Masih dalam posisi seperti itu, Tom melayangkan pukulan dengan tangannya yang satunya lagi kearah wajah Yuya. Namun belum sempat menyentuh wajah Yuya, Yuya terlebih dahulu menghantam wajah Tom dengan menggunakan punggung tangannya. Saking kerasnya hantaman Yuya sampai-sampai Tom terpental jauh dan jatuh tersungkur tak berdaya lagi. Fred bergerak kesamping Yuya dan melancarkan serangan untuk menghantam pipi Yuya. Namun Yuya yang melihat pergerakan Fred bergerak mundur selangkah, menghindari serangan Fred dan menghujamkan satu pukulan tepat dipipi kanan Fred. Fred terpental dan tak dapat bangun lagi.
“itu adalah balasan karena telah memukul temanku, Ralf !”, kata Yuya menatap Fred dengan tajam. Hanz yang tadi terbaring di tanah bangkit dan berlari menyerang Yuya.
“kurang ajar kau...”, teriak Hanz sambil mengarahkan pukulan kearah Yuya. Tapi dengan satu gerakan cepat, Yuya membungkukkan badannya sedikit dan memukul Hanz tepat di perut. Terkena pukulan ini, Hanz mengerang dan roboh seketika. Mulutnya mengeluarkan darah merah. Dia tidak bisa berdiri lagi. Yuya menatap Hanz dan berbicara lantang.
“itu untuk Aya”, kata Yuya kepada Hanz dengan sorot mata tajam tanda kemarahan. “dan itu belum cukup”, lanjutnya. Aya yang menyaksikan kejadian ini menangis melihat Yuya.
“hentikan...sudah cukup...”, kata Aya sambil menangis kepada Yuya. Yuya menoleh kearah Aya. Tatapan matanya kembali seperti semula, tak ada ekspresi kemarahan lagi. Yuya berjalan mendekati Aya dan membantunya berdiri.
“kau tidak apa-apa ?”
“tidak...terima kasih kak !”, sahut Aya.
Yuya mengalihkan pandangannya kearah Ralf yang tersungkur beberapa meter dari tempatnya berdiri dan berlari mendekatinya. Yuya membangunkan Ralf agar bisa duduk dan merangkulnya agar tidak terjatuh. Posisi mereka seperti yang ada di film Romeo dan Juliet. Aya yang melihat tingkah kakak kelasnya itu hanya bisa bengong.
“Ralf...sadarlah...”
“argh...uhuk..uhuk..kau Yuya”
“kau tidak apa-apa ?”
“aku tidak apa-apa, uhuk..”, balas Ralf dengan terbatuk-batuk. Dari jauh mereka berdua terlihat seperti dua sejoli yang sedang mengambil adegan penyelamatan oleh sang pemeran utama. Aya berjalan mendekat, melihat kearah mereka berdua sambil tertawa.
“hehe...kalian seperti pangeran dan putri, pangeran yang menolong tuan putrinya, hehehe...”, kata Aya sambil tertawa.
Yuya menatap kearah wajah Ralf. Ralf memasang wajah imut-imut. Sontak Yuya mendadak menjatuhkan Ralf.
“aduh...hey...kenapa kau lepaskan aku ?”, teriak Ralf kepada Yuya.
“ngapain juga aku amelakukan hal seperti itu kepadamu ? malu-maluin aja”, sahut Yuya.
Aya hanya tertawa melihat kejadian ini. Aya melirik kearah bibir Yuya yang berdarah. Diambilnya sapu tangan dan mengusapkannya dibibir Yuya untuk membersihkan darahnya. Yuya menjadi salah tingkah dibuatnya. Aya hanya tersenyum sedangkan Ralf cuma bisa meratapi nasib mujur temannya yang jauh berbeda dengan nasibnya yang memang benar-benar apes hari ini. Yuya menoleh kearah Hanz.
“kalian berdua”, kata Yuya kepada Fred dan Tom tanpa menoleh kepada mereka berdua. “bawa Hanz dan cepat pergi dari sini”.
“b..bba...baik..”, sahut Fred dan Tom. Mereka bangkit dan berlari menuju Hanz, merangkulnya dan berjalan meninggalkan Yuya, Aya, dan Ralf. Setelah mereka tak terlihat lagi, Aya melirik kepada Yuya.
“kak, ayo pulang”
Belum sempat Yuya berbicara, dia merasakan ada yang memerhatikannya dari belakang. Yuya menoleh kebelakang untuk memastikannya namun tak ada siapa-siapa disana selain Ralf yang berdiri beberapa langkah dibelakangnya. Aya heran melihatnya.
“ada apa kak ?”
“ah...tidak ada apa”, sahut Yuya. Ayo pulang”, ajak Yuya.
Mereka bertiga pun pergi meninggalkan tempat itu. Sampai didepan gerbang sekolah, Yuya dan Ralf melihat sebuah mobil Mercy dan seorang pria tua yang berdiri disamping mobil itu.
“rumah kak Yuya dimana ?”, tanya Aya. “ayo ikut Aya biar supir Aya yang antarkan kak Yuya pulang, kak Ralf juga”.
Mendengar ini hati Ralf berbunga-bunga. Akhirnya dia bisa merasakan juga naik mobil Mercy mewah bersama artis cakep dan beken. Namun Yuya cuma tersenyum.
“ah...tidak usah repot-repot, aku sudah biasa pulang jalan kaki, lain kali saja”, sahut Yuya sambil tersenyum. Mendengar ini, Ralf menyenggol tangan Yuya namun Yuya menatapnya dengan tatapan sinis yang langsung bisa dimengerti oleh Ralf.
“yah...kami sudah biasa pulang jalan kaki jadi Aya pulang saja duluan”, sambung Ralf sekalipun dengan terpaksa.
“oh...begitu ya ? ya sudah Aya pulang dulu ya kak ?”, balas Aya seraya masuk kedalam mobil bagian belakang yang pintunya telah dibukakan oleh supirnya. Kaca mobil dimana Aya duduk terbuka.
“sampai ketemu besok...”, kata Aya dengan senyum menawannya. Ralf langsung terpesona dibuatnya.
“sampai ketemu besok”, sahut Yuya dan Ralf berbarengan.
Mobil bergerak meninggalkan mereka berdua. Ralf yang tadi dongkol berbicara.
“kenapa kau menolak ajakannya untuk ikut mobilnya buat diantar pulang, padahal jarang-jarang lo kita bisa naik mobil seperti itu”, kata Ralf dongkol.
“aku malu padanya”, sahut Yuya. “masa aku harus selalu menerima tawarannya ? dimana aku menaruh mukaku nanti ?”, lanjut Yuya.
“yah...kau memang selalu seperti itu”, sahut Ralf sambil menyela napasnya. “ayo kita pulang”, ajak Ralf.
Mereka pun berjalan meninggalkan sekolah. Yuya menoleh kebelakang, kearah sekolah. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya.

***

Senin, 25 Mei 2009

Honey Bread

1. Sweet Cake

Disebuah desa kecil bernama Brawnsville, tanggal 7 April 2023, kisah ini bermulai. Desa yang masih asri, tak terpengaruh dengan polusi udara. Petang, disebuah toko roti, terlihat seorang pemuda yang sedang membereskan kardus-kardus roti yang berserakan disamping toko. Dia membereskan kardus-kardus satu per satu. Belum selesai dengan pekerjaannya, suara manita tua terdengar dari dalam rumah yang bersatu dengan toko roti itu.
“Rey...masuk dulu kedalam ! pekerjaan itu nanti biar bibi yang menyelesaikannya. Masuklah”
“baik bi...! tunggu sebentar”, sahut Rey sambil merapikan kardus yang sudah setengah lebih telah rapi di tumpukannya. Rey beranjak dari tempatnya masuk kedalam rumah. Tepat saat dia membuka pintu,
“surprise...”, kejutan dari Paman dan Bibi Rey.
“hah ? paman dan bibi merayakan apa ?”, tanya Rey dengan nada heran
“happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday happy birthday, happy birthday to you”, nyanyi paman dan bibi berbarengan sambil menunjukkan kue ulang tahun yang ada di atas meja.
“kami berdua merayakan hari ulang tahunmu hari ini. Sekalipun kami bukan orang tuamu, tapi kami sudah menganggap kamu seperti anak kami sendiri”, kata bibi sambil tersenyum.
“kalian...terima kasih banyak”, sahut Rey dengan mata berkaca-kaca
“sudahlah...ayo tiup lilinnya”, sahut paman
Rey beranjak dari heningnya. Dia mendekat ke kue ulang tahunnya dan meniup lilinnya. Dia tak menyangka bahwa paman dan bibi ingat akan hari ulang tahunnya.
“nah...sekarang ucapkan permintaanmu”, pinta bibi.
“hem...baiklah...aku pinta...semoga paman dan bibi sehat selalu dan diberikan umur yang panjang”, pinta Rey.
“oh...kamu memang anak yang baik...”, puji bibi. “nah sekarang giliran paman”, lanjut bibi.
“oh...giliranku ya ? baiklah...ini adalah permohonanku. Semoga Rey menjadi orang yang berhasil kelak, hehehe...”
“nah...itu namanya seorang paman. Nah sekarang giliran bibi. Bibi berharap semoga kau mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan selalu”, pinta bibi.
“amin...”, sahut Rey kali ini.
“nah...Rey, kami sudah menyiapkan hadiah untukmu”, kata paman sambil mengambil sebuah gitar akustik yang tersandar di dinding ruang keluarga. Paman menyerahkan gitar itu kepada Rey.
“Rey,,,paman tahu kau sangat suka bermain gitar dan paman juga tahu gitar lamamu sudah usang dan mulai rusak makanya paman dan bibi membelikan gitar ini untukmu. Ambillah”, kata paman kepada Rey.
Rey mengambil gitar akustik itu dengan hati yang gembira. Gitar merupakan benda yang sangat disayanginya. Gitarlah yang menemani Rey saat suntuk juga saat dia sedang resah dan gelisah.
“paman, bibi, terima kasih banyak. Aku tak tahu harus mengucapkan apa lagi selain kata terimakasih”
“sudahlah...ayo potong kuenya. Kita rayakan sama-sama”, sahut bibi. Bibi mengambil pisau yang ada di samping kue ulang tahun dan memotongnya menjadi beberapa bagian lalu diserahkannya kepada Rey dan paman. Malam itu merupakan malam yang paling menyenangkan bagi Rey. Paman beranjak dari duduknya dan memencet tombol TV.
“ah...mari kita lihat TV. Tidak enak makan kue tanpa nonton TV”
“dasar kebiasaan buruk”, sahut bibi dengan nada sinis.
Channel yang dipilih paman kali ini adalah tentang liputan berita eksklusif pernyataan dari keluarga Margharetta yang kehilangan putrinya karena kasus penculikan. Mereka semua menengarkan berita dengan seksama.
“sampai saat ini, kami dari pihak kepolisian belum berhasil menemukan Erika, pelaku penculikan telah berhasil kami tangkap, namun malang, Erika tidak bersama mereka karena Erika telah kabur terlebih dahulu dari para penculik tersebut. Sampai saat ini kami belum berhasil mendapatkan tanda-tanda keberadaannya”
“kasihan ya mereka ! sudah 3 hari keluarga itu kehilangan anaknya karena diculik. Eh sekarang setelah pelakunya tertangkap, Erikanya yang malah telah kabur terlebih dahulu”, sahut bibi dengan rada sedih.
Kali ini pandangan di TV berganti mengarah keorang lain. Kali ini yang berbicara adalah perwakilan dari pihak keluarga.
“kami sangat mengharapkan anak kami kembali lagi ke pangkuan kami kembali. Dengan ini, saya selaku ayah Erika menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk membantu kami menemukan Erika. Kami akan memberikan hadiah yang besar bagi siapa saja yang berhasil menemukan Erika dan mengembalikannya kepada kami. Uang bukan sesuatu yang amat berharga bagi kami jika dibandingkan dengan Erika, anak kami. Karena itulah, bagi para pemirsa sekalian, kami dari pihak keluarga sangat mengharapkan partisipasinya”
Rey, paman, dan bibi hanya bisa meratapi berita ini. Tak disangka-sangka hujan turun dengan lebatnya. Rey teringat dengan pekerjaan rumah yang diberikan gurunya di sekolah.
“paman, bibi, aku harus pulang dulu soalnya ada pr yang belum aku kerjakan”
“kan lagi hujan lebat. Menginap saja disini, kerjakan saja tugasmu disini”, sahut paman.
“tidak bisa paman soalnya bukunya semuanya ada di rumah. Seandainya tahu begini mending dari rumah bawa bukunya aja sekalian tapi yah...sudah terlanjur...”, kata Rey dengan nada sedikit kecewa.
“ya sudah...pakai payung bibi. Nih bawa pulang kuenya. Kan bisa dimakan selagi kamu mengerjakan tugasmu. Oh iya jangan lupa hadiahmu itu”, sahut bibi sambil menyerahkan bungkusan berisi kue ulang tahun yang tadi.
“gitar itu biar nanti aja deh saya bawa pulang. Hari kan lagi hujan. Aku ga’ mau hadiah kalian basah”
Rey mengambil bungkusan kue itu, memasang jaket usangnya yang sejak sore tadi digantungnya di balik pintu dan berjalan keluar rumah. Diambilnya payung yang tergantung di tiang disamping pintu rumah. Dibukanya payungnya dan beranjak keluar. Paman dan bibi mengikutinya dari belakang.
“hati-hati ya Rey...! hujannya lebat dan juga gelap, apa perlu senter ?”, tanya paman.
“ah...tidak usah paman, udah biasa yang kaya begini jadi tidak apa-apa, aku pulang dulu ya ?”, sahut Rey.
“iya...hati-hati...”,balas bibi.
Rey berjalan menerobos hujan lebat dan dilihatnya sekeliling hampir tak terlihat apa-apa. Rey mempercepat langkahnya karena ingin cepat-cepat pulang supaya tidak terlalu larut menyelesaikan tugasnya.
Samar-samar terdengar suara isak tangis seorang wanita. Rey tak memperdulikannya.
“ah...mungkin cuma hayalanku saja”,pikirnya.
Namun semakin dia berjalan semakin terdengar jelas suara isak tangis gadis itu. Rey mulai gemetar sekarang. Dia mulai berpikir yang aneh-aneh.
“apa itu tangisan hantu ? kata paman kan hantu itu ga’ ada. Tapi ini ada suara tangisan gadis malam-malam ditengah tempat gelap dan disaat hujan lebat”, pikir Reyu yang sekarang bulu kuduknya mulai merinding. Jalanan desa itu memang sedikit sekali lampu jalanan. Kira-kira jarak antara lampu yang satu dengan yang lainnya berjarak 75 meter, kalaupun kurang dari itu juga lampu dari rumah warga yang lain yang menyala. Dia memberanikan diri untuk berjalan. Semua pikirannya tentang hantu dibuangnya jauh-jauh. Rey berjalan semakin mendekat dengan suara itu sampai dia melintasi sebuah pohon yang tidak terlalu besar. Samar-samar dilihatnya seorang gadis duduk menelungkup dibawah pohon itu sambil menangis dan basah kuyup. Dilihatnya gadis itu gemetar badannya. Kelihatannya dia kedinginan. Rey menghampirinya dan mengarahkan payungnya keatas kepala gadis itu untuk menaunginya. Rey mulai yakin bahwa gadis ini bukan hantu, dia memberanikan diri untuk bertanya kepada gadis itu.
“hey...kenapa kau duduk disini ? disini kan basah ? kau tak bisa berteduh disini. Kenapa kau tidak pulang kerumahmu ?”
Gadis tadi mengangkat kepalanya dan menatap kearah Rey tanpa berkata apa-apa dengan mata sayu dan wajahnya terlihat pucat sekali. Bibirnya putih dan menggigil tanda kedinginan. Melihat wajah seperti ini Rey malah berpikir gadis ini adalah hantu. Dia sudah bersiap-siap mengambil langkah seribu tapi mendadak gadis tadi pingsan dan jatuh tepat kearah Rey. Rey langsug melepaskan payungnya dan menyandarkan gadis tadi di pohon. Rey menepuk pipi gadis itu perlahan.
“hey...sadarlah...”, kata Rey berulang-ulang namun tak ada respon dari gadis itu. Karena kasihan melihat gadis itu, Rey melepaskan jaketnya dan menggendong gadis tadi. Dengan tangan kanan ditahannya gadis tadi di punggungnya. Diambilnya bungkusan kuenya yang sempat terjatuh bersama payungnya tadi, digigitnya bungkusan itu dan dengan tangan kiri diambilnya payungnya dan kemudian dia berjalan kembali. Rey berjala dengan tergopoh-gopoh. Selain menggendong gadis tadi dia juga memegangi payung dengan tangan kirinya untuk menaungi gadis itu dan menggunakan mulutnya untuk membawa bungkusan kue.
“kasihan juga gadis ini. Malam-malam begini kehujanan ya tentu aja kedinginan”, pikirnya. “dan juga, gadis ini lumayan berat juga”, pikir Rey lagi. Sekalipun cuaca dingin, Rey tetap berkeringat karena menggendong gadis itu dengan satu tangan. Sebentar-sebentar dinaikkannya lagi gadis itu karena merosot kebawah. Beginilah terus sampai akhirnya dia sampai dirumahnya. Ditaruhnya payung dan diambilnya kunci dari kantong celana. Pintu terbuka dan gadis itu dibawanya masuk. Direbahkannya gadis tadi dilantai. Rumah Rey kecil. Hanya terdiri dari 4 ruangan. Satu kamar mandi, satu dapur dan 2 ruangan yang sama besar. Satu ruangan adalah kamarnya. Rey kembali ke pintu untuk menutupnya dan meletakkan bungkusan kue di atas meja, mengganti pakaiannya yang basah lalu kembali ke gadis tadi. Melihat gadis tadi Rey jadi tidak berani membuka pakaiannya, tapi melihat baju gadis tadi yang basah kuyup, terpaksa Rey memberanikan diri untuk membuka baju gadis itu sebab jika didiamkan bakal menjadi tambah parah. Diambilnya kacamata hitam usang dari lemarinya dan dipakainya agar tidak memandang dengan jelas tubuh si gadis. Rey melepaskan semua pakaian si gadis minus pakaian dalam soalnya Rey tidak berani melakukannya. Diambilnya handuk, kemeja, dan celana pendek dari lemarinya untuk menutupi tubuh si gadis lalu diangkatnya gadis itu kedalam kamarnya. Diambilnya selimutnya dan diselimutkannya kepada gadis tadi. Rey memegangi dahi gadis itu. Gadis itu demam tinggi. Melihat ini Rey kembali ke dapur, mengambil air dan handuk kering. Rey kembali lagi kedalam kamar, mencelupkan handuk kedalam cawan yang berisi air, memerasnya dan diletakkannya diatas dahi sang gadis untuk kompres. Rey melakukan ini beberapa kali sampai demam sang gadis mulai turun.
“akhirnya demamnya turun juga. Syukurlah”, kata Rey dengan lega. Rey beranjak keluar dari kamar dan menutup kamarnya rapat-rapat. Dilihatnya jam dindingnya, jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas.
“gawat...tugasku belum aku kerjakan”
Rey mengambil bukunya dan mulai mengerjakan pekerjakan rumahnya. Badannya terasa pegal semuanya tapi dia tetap bersikeras mengerjakan tugasnya.

***
Suara burung berkicau terdengar. Mentari cerah bersinar, embun pagi berjatuhan dari dedaunan. Sang gadis terbangun dari lelapnya. Dilihatnya atas rumah.
“Dimana aku ?”
Dia masih merasa sedikit pusing. Tangannya memegang dahi dan menemukan handuk kecil didahinya. Diangkatnya handuk itu dan dipeganginya. Dilihatnya disamping kasur tempat tidurnya ada mangkuk berisi air. Diletakkannya kain tadi disamping mangkuk dan bangkit untuk duduk. Dibukanya selimut yang menutupi badannya. Dia kaget ketika melihat pakaiannya berubah menjadi kemeja lusuh dengan celana pendek yang kira-kira sama lusuhnya.
“kenapa aku memakai pakaian seperti ini ? rasanya pakaianku bukan ini deh !”, katanya heran. Dia mulai berdiri meskipun kepalanya masih terasa sakit sedikit dan melupakan tentang pakaiannya. Sambing memegangi dahinya, dia menuju pintu kamar dan membukanya untuk keluar. Begitu membuka pintu, selembar kertas jatuh melayang tepat di hadapannya dan jatuh dilantai. Diambilnya kertas itu dan dibacanya. Dikertas itu tertulis :
“makanan ada di atas meja. Maaf kalau makanannya seadanya saja. Makanlah secepatnya mumpung masih panas. Aku pergi sekolah dulu. Maaf bila kau tidak bisa keluar dari rumah soalnya pintunya aku kunci supaya kau tidak bisa kemana-mana karena tidak enak sama tetangga bila seorang gadis keluar dari rumah seorang laki-laki. Kondisimu masih sakit. Istirahatlah, aku akan segera pulang, oh iya satu lagi maaf soal pakaianmu. Aku terpaksa menggantinya soalnya bajumu basah, jika ku diamkan kau akan masuk angin jadi terpaksa aku ganti dengan pakaianku. Tapi tenang saja aku tidak mengganti pakaian dalammu, dan juga aku tidak melakukan apa-apa terhadapmu selain mengganti bajumu. Maaf ya >_<”
“hah...? laki-laki ?”, sang gadis terkejut. Dilihatnya lewat kerah bajunya apakah dia memang masih memakai pakaian dalam. Dia lega juga setelah melihat pakaian dalamnya masih berada pada tempatnya dan masih agak basah karena hujan malam tadi. Dia melirik kearah meja yang disebutkan surat tadi. Dilihatnya ada mangkuk yang tertutup, gelas serta termos. Dia mendekat dan membuka mangkuk tertutup itu. Dilihatnya sup yang masih panas. Di bukanya termos dan menuangkannya kedalam gelas. Teh hangat keluar dari dalam termos. Dicicipinya sup tadi.
“wah...enak juga supnya”, gumamnya
Karena supnya enak, tanpa sadar sup satu mangkuk penuh habis dimakannya. Setelah merasa kenyang, dia beranjak dari duduknya dan melihat-lihat sekeliling rumah mungil itu. Ada sebuah gitar tua bersandar di pojok ruangan itu. Dilihatnya ada sebuah foto yan terletak diatas lemari. Gambar seorang gadis dan seorang anak laki-laki. Lalu dilihatnya lagi sekeliling. Rumah itu memang sangat sederhana namun tertata rapi. Dia beranjak menuju dapur. Peralatan memasaknya semuanya tua. Tak ada yang bagus sama sekali. Tak sengaja dia melihat keluar jendela yang ada di dapur dan melihat pakaiannya dijemur diluar. Dia tersenyum melihatnya.

***
Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Setelah mengucapkan salam, semua siswa keluar dari kelasnya masing-masing. Rey terlihat tergesa-gesa memasukkan semua bukunya untuk segera pulang. Seorang gadis dengan rambut hitam lurus, menggunakan ikat rambut dan menjuntai dibelakang. menghampirinya.
“Rey, ayo pulang sama-sama”
Rey memalingkan wajahnya kearah gadis tadi.
“oh kamu Seon, maaf hari ini aku tidak bisa pulang sama-sama soalnya aku harus buru-buru pulang”
“oh...begitu. ya sudah hati-hati ya !”, balas Seon dengan raut wajah yang sedikit berubah.
“iya”, jawab Rey sambil beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Seon. Rey dan Seon sering pulang bersama saat pulang sekolah. Tentu saja dengan sikap Rey hari ini membuat Seon agak khawatir.
“tumben...ada apa ya ?”, pikirnya dalam hati.
Rey berjalan agak cepat dari biasanya. Dia singgah ke toko roti paman dan bibinya. Paman sedang duduk didepan kasir melayani pelanggan sedangkan bibi merapikan roti di rak roti. Melihat Rey, bibi menyapa Rey.
“eh kau Rey, tumben sendirian. Biasanya kau sama Seon. Mana dia ?”
“hari ini aku pulang duluan. Oh ya bi aku pengen mengambil hadiahku”
“ada di samping pintu”, sahut bibi sambil menunjuk kearah pintu rumah. Rey berjalan kearah pintu mengambil gitarnya.
Paman yang telah selesai melayani pelanggan bertanya kepada Rey
“pulang duluan ? kenapa ?”
“ada seorang gadis dirumahku. Aku menolongnya kemarin malam. Dia basah kuyup duduk menelungkup dibawah pohon di jalan menuju rumahku. Saat aku hampiri dia pingsan jadi ya apa boleh buat terpaksa deh aku tolong dia”
“hah ? gadis ? hey kau tidak melakukan yang macam-macam kan ?”
“hus...tentu aja Rey tidak melakukan apa-apa”, tegur bibi.
“ya tidak lah..., aku cuma menolongnya. Itu saja. Masa dia aku diamkan malam-malam kedinginan dibawah pohon kehujanan”
“kau memang anak yang baik Rey”, kata bibi bangga.
“paman dan bibi datanglah kerumahku dan lihat dia, barangkali paman dan bibi mengenalnya”
“ah...mungkin besok pagi kami baru bisa kerumahmu soalnya masih banyak yang harus kami kerjakan buat festival tahunan malam ini. Kau cepatlah pulang sana, kali saja dia memerlukan bantuanmu”
“iya ya...! malam ini kan ada festival”, gumam Rey. “makasih bi. Aku pulang dulu ya ?”
“hati-hati”, sahut paman dan bibi.
Rey berjalan dengan langkah cepat sambil membawa gitarnya dibahu. Dia ingin cepat sampai dirumah.
“kira-kira dia sudah bangun belum ya ?”, gumam Rey dalam hati.

***
Beratus-ratus kali gadis tadi memencet tombol untuk mengganti-mengganti channel tv usang dirumah Rey. Mulai dari channel berita sampai channel acara masak tak ad yang bisa mengusir rasa bosan sang gadis.
“ah...apa channel tv dirumah ini cuma ada segini ?”, eluh sang gadis.
Rasa bosan telah menggerogoti sang gadis sampai-sampai membuat perutnya lapar. Sejak makan sup saat pagi menjelang siang tadi, dia tak memakan apapun setelah itu. Tentu saja dia mulai lapar lagi. Apalagi hari sudah menjelang sore. Dilihatnya jam dinding yang ada di atas pintu menuju kamar, sudah hampir pukul 4 sore. Dia mematikan televisi dan beranjak dari tempatnya menuju dapur. Dilihatnya sebuah kulkas usang yang penampilannya sudah amburadul namun masih berfungsi sebagaimana mestinya. Dibukanya pintu kulkas dan ditemukannya potongan kue coklat yang lumayan besar dan sekitar sepertiga bagian kue telah hilang. Diatas bagian kue yang tersisa itu ada tulisan ‘thday’ dan 2 buah lilin yang menunjukkan angka 8 dan 1.
“huh...??? kue ulang tahun ya ?? lumayan buat dimakan”, kata sang gadis sambil mengeluarkan kue dari kulkas. Dibawanya kue itu keruangan santai dan meletakkannya diatas meja. Diambilnya pisau kecil yang memang ada di wadah kue itu, dipotongnya dan tanpa ampun lagi dimakannya dengan lahapnya.
“enak juga kuenya”, gumamnya dalam hati.
Selagi memakan kue, matanya melihat angka 8 dan 1 yang ada diatas kue itu.
“81 ? 81 tahun...?”,gumamnya dalam hati. Mendadak dia tersedak, kue yang ada ditangannya jatuh. Bergegas dia kembali kedapur, membuka kulkas, mengambil botol kecil yang berisi air mineral yang ada disana dan meminumnya. Perlahan-lahan dia tenang juga.
“jadi yang menolongku...adalah kakek-kakek umur 81 tahun...???”, kata sang gadis dengan nada terkejut. “tapi...masa kakek-kakek pergi kesekolah sih...??”, lanjutnya lagi. “oh...mungkin kerjaannya adalah menjadi guru, makanya dia kesekolah”, tambahnya lagi dengan nada agak tenang kali ini.
“Tapi...”, kali ini pikirannya menerawang lagi. “emang ada ya guru setua itu ? seharusnya kan umur segitu sudah pensiun dan menikmati masa tua”, pikirnya lagi dengan agak bingung bercampur takut. “jangan-jangan dia kesekolah cuma buat menggoda gadis-gadis yang ada disana...!”, pikir gadis tadi yang kepalanya sudah mulai ngaco. “gawat nih...jangan-jangan nanti bila dia pulang aku bisa diapa-apain nih oleh kakek ganjen itu”.
Dari luar terdengar suara pagar terbuka. Mendengar suara itu, gadis tadi menjadi panik.
“apa yang harus aku lakukan ???”, kata sang gadis dengan panik.
Gadis itu berlari menuju dapur untuk bersembunyi. Ketika didapur, dia melihat teflon yang sudah bisa dibilang tak layak pakai yang tergantung di dinding. Diambilnya teflon itu dan berlari menuju pintu. Dia berdiri dibalik pintu sambil memegangi senjatanya dengan kedua tangannya erat, bersiap-siap untuk menyerang bila kakek yang ada dipikirannya masuk kedalam rumah.
Sementara itu, Rey yang tadi membuka pagar sedang mencari kunci rumahnya didalam sakunya. Dia berjalan menuju pintu dan mengarahkan kuncinya kearah lubang kunci. Namun, kuncinya jatuh tanpa sengaja dari tangannya. Rey mengambilnya dan memasukkannya ke gagang pintu. Sesaat dia membuka pintu, sebuah teflon melayang tepat kearah wajahnya.
“PLANG”, teflon tepat memukul hidungnya.
“auw.......”, Rey mengerang sambil memegangi hidungnya dan tersungkur jatuh didepan pintu. Gadis tadi dengan menutup matanya terus saja memukul Rey tanpa ampun.
“dasar kakek ganjen ! jangan harap kau bisa mengambil keuntungan dariku ya...!”, kata gadis tadi sambil memukul.
“aw..aw...aduh...sakit...”, erang Rey ketika dipukul oleh gadis tadi. Sang gadis berhenti memukul setelah mendengar suara Rey.
“suara kakek-kakek di desa begini ya ?”, gumamnya dalam hati, masih tanpa membuka matanya karena takut. “atau telingaku yang bermasalah ya ??”, pikirnya lagi. Untuk meyakinkan dirinya sendiri dengan apa yang dia dengar, gadis itu memukul Rey lagi.
“auw...hey...auw..hen..ti...hentikan...”, erang Rey ketika dipukul oleh gadis tadi berkali-kali. Kali ini dia memang yakin dengan apa yang dia dengar. “suaranya tidak terdengar seperti kakek-kakek sedikitpun”, gumamnya. Perlahan-lahan dibukanya matanya. Dilihatnya seorang laki-laki remaja yang seumuran dengannya sedang memegangi hidung. Melihat Rey, gadis tadi sontak langsung panik.
“eh...kamu bukan kakek-kakek ganjen ya ?”
“apa kau bilang ? jelas-jelas aku ini bukan kakek-kakek”, sahut Rey. “kenapa kau memukulku ?”
“maaf...aku tidak sengaja”, kata gadis tadi. “aku kira kau kakek ganjen yang mau memanfaatkanku”, tambahnya. “maaf maaf maaf”
Gadis tadi membantu membangunkan Rey yang tadi jatuh dan membawanya masuk kedalam rumah. Pintu ditutup oleh gadis tadi dan menghampiri Rey yang masih memegangi hidungnya yang kena pukulan tadi.
“sini biar aku lihat hidungmu”, kata gadis.
“tidak usah”, sahut Rey. “kau ambilkan saja tissu yang ada di atas meja dalam kamar”
Gadis tadi menurut. Dia masuk kedalam kamar dan mengambil tissu dari atas meja seperti yang dibilang Rey. Diserahkannya tissu itu kepada Rey. Rey menggunakan tissu itu kehidungnya. Bercak merah terlihat di tissu.
“wah...kau berdarah”, erang gadis tadi. “maaf...aku benar-benar minta maaf...aku menyesal”, sesal sang gadis.
“sudahlah...tak apa-apa”, balas Rey. “lagipula sebentar lagi juga pendarahannya berhenti”, lanjutnya. “oh iya bagaimana kondisimu ?”
“huh ? yah...aku sudah baikan”
“baguslah kalau begitu”, sahut Rey. “hey...kenapa kau memukulku tadi dan kenapa kau mengira aku adalah kakek ganjen ?”, tanya Rey dengan nada agak sedikit berang. Melihat hal ini, gadis tadi menjawab sambil memasang wajah tak bersalah.
“aku kira kau kakek ganjen yang pengen mengambil untung dariku”, jelasnya. “habis...di kue ulang tahunmu itu angka lilinnya 81 sih”, sambil menunjuk kearah kue ulang tahun Rey yang ada diatas meja.
Rey melongo. Dia berjalan mendekati kue dan memutar kue itu. Sekarang dari sudut gadis tadi angkanya terlihat menjadi 18.
“matamu katarak ya ??”, ejek Rey.
“oh...18 ya...??? hehehe..maaf...aku salah lihat”, sahut gadis itu sambil tertawa. “habis...posisi kuenya dalam kulkas menunjukkan angka 81 trus angka satunya ga ada topinya sih...cuma lilin batang lurus begitu makanya aku ga tahu yang mana yang benar, 81 atau 18”, sahut gadis itu membenarkan dirinya.
Rey hanya menatap sinis gadis itu sedangkan gadis tadi cuma tersenyum centil sambil tertawa kecil. Darah di hidung Rey sudah mereda, Rey bertanya.
“oh iya, namamu siapa ?”
“namaku ? namaku Erika, Erika Margharetta”
Rey tersedak mendengarnya. Erika yang melihat hal ini heran sendiri dibuatnya.
“coba kau ulang sekali lagi ? telingaku agak bermasalah”, pinta Rey.
“aku bilang namaku Erika Margharetta”, sahut Erika dengan suara yang agak keras sedikit.
“kau Erika ?? Erika yang diculik itu ??? artis pendatang baru yang terkenal dan anak pemilik perusahaan Margharetta Corp itu ?”
“yap...itu aku”, sahut Erika membenarkan.
Rey masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan gadis itu. Mana mungkin artis terkenal itu, sekalipun dia diculik, dia bisa ada didesa ini.
“ah...kau bohong kan..?? mana mungkin kau Erika yang itu”, kata Rey tak percaya.
“huh...dasar...kau tidak percaya padaku ya ?”, sahut Erika sedikit marah. “apa wajahku ini bukan Erika yang sering ada di TV ?”
“mmm...kalo wajahmu sih...agak mirip sih..”, sahut Rey. “tapi...mana mungkin dia itu kau”, tambah Rey dengan nada agak tinggi.
“kalo gitu ayo kita lihat TV”, Erika jengkel sambil menghidupkan TV. Dicarinya channel berita. Saat itu masih iklan yang lewat. Erika duduk didepan TV dengan agak jengkel sedangkan Rey melirik kearah Erika, menatap Erika dengan seksama, apa benar dia Erika yang artis itu. Tak beberapa lama acara berita mulai lagi. Beruntung acara kali ini tentang penculikan Erika. Di TV terpampang jelas foto Erika. Tanpa memperdulikan apa yang dikatakan pembaca berita, Erika berkata kepada Rey.
“nah...sekarang bandingkan wajahku dengan foto yang ada di TV, sama atau tidak ??”, perintah Erika.
Rey menurut. Dia menatap wajah Erika dengan seksama, lalu memalingkan wajahnya kearah TV dan memerhatikannya dengan teliti. Berulang-ulang dia melakukannya.
“bagaimana ?”, tanya Erika.
“hem...mirip”, balas Rey.
“bukan mirip lagi...memang foto di TV itu aku...huh....”, balas Erika dengan nada gusar. Rey yang melihat Erika marah cuma bisa melongo. Kali ini Rey percaya bahwa yang dihadapannya memang artis yang ada di TV.
“yah...baiklah, aku percaya bahwa kau Erika yang itu”
“nah...gitu kan lebih baik, hehehe...”, sahut Erika dengan nada kemenangan. “Trus namamu siapa ?”
“oh...namaku Rey, Rey Milano”
“Rey...??? terima kasih ya Rey karena telah menolongku malam tadi”
“tak usah dipikirkan”, balas Rey. “kamu lapar ya ?”, tanya Rey mengalihkan pembicaraan.
“hehe...iya...”, sahut Erika agak malu. “habis...makanan pagi tadi sudah habis sih...”
“kenapa ga’ masak aja sendiri ?”, tanya Rey. “kan di kulkas ada beberapa bahan makanan, walaupun cuma sedikit tapi kan masih bisa dimasak buat makan”.
“hehe...masalahnya aku tidak bisa masak”, sahut Erika tertunduk malu.
“kau tidak bisa masak ?”, tanya Rey tertegun. “i see...”, sahut Rey yang terlihat sedang berpikir.
“huh ? kenapa ?”
“tidak ada apa-apa”, balas Rey. “ya sudah aku akan masak untukmu, tapi jangan komplain ya tentang masakanku ?”, pinta Rey.
“okay bos....”, sahut Erika dengan nada riang.
Rey beranjak kedapur sambil membawa teflon yang tadi digunakan Erika untuk menghajarnya. Dia mengambil beberapa bahan dari kulkas untuk memasak. Melihat ini, Erika menawarkan bantuan.
“perlu bantuan ?”
“tidak usah”, balas Rey dari dalam dapur. “kau duduk saja disana, aku sudah biasa kerja sendiri”, tambah Rey. “lagipula kondisimu belum baik seutuhnya, kau istirahat saja”.
“ya sudah kalau begitu”, sahut Erika kecewa sambil memalingkan wajahnya kearah TV dan menyalakannya.

***
BERSAMBUNG